Pada tanggal 1 Jumadil Ula 1401 H/ 7
Maret 1981 M, Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) Fatwa tentang Natal Bersama yang
intinya bahwa mengikuti Natal Bersama bagi ummat Islam hukumnya adalah HARAM.
Hal itu diperkuat dengan hujjah antara lain: Surat Al-Kaafiruun ayat 1-6, Surat
Al-Baqoroh Ayat 42, Hadits Sayyidina Nu’man ibnu Ba’syir tentang Syubhat dan
Kaidah Ushul “Dar’ul Mafaasid Muqoddamun ‘alaa Jalbil Mashoolih” (Menolak
kerusakan didahulukan daripada mengambil mashlahat).
Syubhat Natal adalah pemutaran
balikkan ayat maupun hadits untuk “menyamarkan” hukum natal yang sebenarnya
sudah jelas keharamannya, sehingga natal yang haram diupayakan menjadi natal
yang halal bagi ummat Islam, sekurang-kurangnya menjadi natal yang syubhat.
Berikut beberapa syubhat natal dan jawabannya:
1. SYUBHAT PERTAMA
Dalam
Al-qur’an cukup banyak ayat-ayat yang bercerita tentang Nabi ‘Isa AS sekaligus
menjadi hujjah bahwa ummat Islam wajib mencintai, menghormati dan mengimani
beliau sebagai salah seorang Rosuul. Bahkan dalam Surat Maryam ayat 33, ALLOOH
SWT menceritakan ucapan Nabi ‘Isa AS yang berbun: “Wassalaamu’alaikum ‘alayya
yaumu ub’atsu hayyan.” (keselamatan atasku
di hari kayyah aku dilahirkan dan jari aku mati kerta harta hari aku
dibangkitkan dalam kedaan hidup dihidup)
Dengan
dasar itu semua, maka merayakan dan saling mengucapkan selamat atas Nabi Isa As
menjadi sejalan dengan semangat Al-Qur’an, sekaligus menjadi bukti cinta,
hormat dan iman kita kepada Nabi ‘Isa AS.
JAWABAN:
Iman kepada para Rosul merupakan salah satu rukun Islam. Dan Nabi Isa AS merupakan salah satu Rosul yang wajib diimani. Mengekspresikan cinta dan hormat serta iman kepada Nabi ‘Isa AS yang paling utama adalah dalam bentuk memposisikan beliau sebagai Hamba ALLOOH SWT dan Rosuul-NYA, serta menolak segala bentuk PENUHANAN terhadap dirinya. Jadi, pengekspresian tersebut tidak mesti dengan memperingati hari lahirnya.
Iman kepada para Rosul merupakan salah satu rukun Islam. Dan Nabi Isa AS merupakan salah satu Rosul yang wajib diimani. Mengekspresikan cinta dan hormat serta iman kepada Nabi ‘Isa AS yang paling utama adalah dalam bentuk memposisikan beliau sebagai Hamba ALLOOH SWT dan Rosuul-NYA, serta menolak segala bentuk PENUHANAN terhadap dirinya. Jadi, pengekspresian tersebut tidak mesti dengan memperingati hari lahirnya.
Andaikata
pun kita ingin merayakan hari lahir Nabi Isa AS dengan dasar ayat 33 Surat
Maryam, maka kita akan kesulitan menentukan tanggalnya, karena tidak ada satu
pun ayat Al-Qur’an atau Hadits Nabi SAW atau Atsar dari Shohabat, Tabi’in mau
pun Tabi’it Tabi’in yang menginformasikan tentang tanggal kelahiran Nabi Isa
AS.
2. SYUBHAT KEDUA:
Dalam
hadits muttafaqun ‘alaihi yang bersumber dari Sayyiduna ‘AbduLLooh ibnu ‘Abbas
RA diceritakan bahwa RosuuluLLooh SAW pernah menerima Informasi dari Yahudi
tentang kemenangan Nabi Musa AS di hari Asyuro’ (10 Mucharrom), lalu Nabi SAW
dan para sahabatnya merayakan kemenangan Nabi Musa AS di hari itu dengan
berpuasa.
Jika
Nabi SAW menerima INFO YAHUDI tentang tanggal bersejarah 10 Mucharrom sebagai
hari kemenangan Nabi Musa AS lalu merayakannya, maka tidak mengapa kita
menerima INFO NASHRONI tentang tanggal bersejarah 25 Desember sebagai hari
kelahiran Nabi ‘Isa AS dan merayakannya pula.
JAWABAN:
Dalam hadits muttafqun ‘alaihi yang lain bersumber dari Sayyidatuna Aisyah RA menerangkan bahwa Puasa ‘Asyura sudah dilakukan masyarakat Quroisy sejak zaman Jahiliyah, dan di zaman permulaan Islam menjadi Puasa Wajib hingga diwajibkan Puasa Romadhon di tahun kedua Hijriyah.
Dalam hadits muttafqun ‘alaihi yang lain bersumber dari Sayyidatuna Aisyah RA menerangkan bahwa Puasa ‘Asyura sudah dilakukan masyarakat Quroisy sejak zaman Jahiliyah, dan di zaman permulaan Islam menjadi Puasa Wajib hingga diwajibkan Puasa Romadhon di tahun kedua Hijriyah.
Jadi,
puasa Nabi SAW di hari ‘Asyuro bukan meniru-niru perbuatan Yahudi. Apalagi
dalam sebuah hadis shohih disebutkan tentang niat dan anjuran Nabi SAW buat
ummatnya agar juga Puasa Tasu’a (9 Mucharrom) untuk membedakan puasa ummat
Islam dengan puasa Yahudi di hari ‘Asyuro.
Dengan
demikian menjadi jelas bahwa tuntunan Nabi SAW adalah tidak meniru-niru
perbuatan kaum kafir, apalagi dalam sebuah hadits lainnya beliau SAW menegaskan
barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian darinya.
Memang,
sikap Nabi SAW yang diartikan sebagai bentuk perayaan terhadap Hari Kemenangan
Nabi Musa AS bisa dijadikan dalil pembenaran syar’I bagi perayaan Hari
Bersejarah seorang Nabi atau Rosuul, termasuk Hari Lahir Nabi ‘Isa AS. Namun itu
tidak boleh dijadikan dalil pembenaran syar’I bagi tanggal 25 Desember sebagai
Hari Kelahiran Nabi Isa AS. Apalagi dijadikan dalil buat meniru-niru Nashroni
dalam merayakan Natal.
Penerimaan
Nabi SAW terhadap INFO YAHUDI tentang tanggal 10 Mucharrom sebagai Hari
Kemenangan Nabi Musa AS menjadi PEMBENARAN SYAR’I bagi info tersebut karena
sunnah nabi SAW adalah sumber hukum Islam yang autentik setelah Al-Qur’an. Artinya,
info itu menjadi benar bukan karena datangnya dari Yahudi, tapi karena
DIBENARKAN oleh Nabi SAW.
Sedang
INFO NASHRONI tentang tanggal 25 Desember sebagai Hari Lahir Nabi ‘Isa AS tidak
memiliki PEMBENARAN SYAR’I sama sekali, sehingga tidak bisa dibenarkan.
3. SYUBHAT KETIGA
Ada hadits
RosuuluLLooh SAW yang membolehkan ummat Islam menyampaikan berita yang berasal
dari Ahlul Kitab. Karenanya, jika Nashroni di seantero dunia sudah sepakat
merayakan Hari Lahir Nabi Isa AS pada tanggal 25 Desember, maka itu bisa menjadi
bagian berita Ahlul Kitab yang boleh kita terima.
JAWABAN:
Memang,
ada hadits tentang kebolehan menyampaikan Ahlul Kitab, tapi ada hadits juga
yang mengarahkan ummat Islam agar tidak mempercayai (membenarkan) dan tidak
pula mendustakan (menyalahkan) berita Ahlul Kitab.
Maksud
berita Ahlul Kitab adalah segala info yang datang dari Kitab-kitab suci atau
Doktrin Asli ajaran agama Yahudi dan Nashroni, Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah mengklasifikasikan
berita Ahlul Kitab menjadi tiga kategori, yaitu
a. Info yang
dibenarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka wajib diterima,
b. Info yang
ditentang Al-Qur’an dan As-Sunnah maka wajib ditolak,
c. Info yang tidak
dibenarkan dan tidak pula ditentang Al-Qur’an dan As-Sunnah maka wajib
tawaqquf, yaitu tidak menerima dan tidak juga menolak.
Dan masih
banyak lagi SYUBHAT yang lain.
WaLLoohu
a’lam.
0 comments:
Post a Comment