Suatu
hari Sayyidina ‘Ali KWH bertanya kepada istrinya, apakah ia mempunyai sesuatu
untuk dimakan. Siti Faathimah menjawab: “Demi ALLOOH yang memuliakan ayahku
dengan Nubuwwah, aku tidak mempunyai sesuatu untuk makan sekeluarga hari ini.
Sejak pagi kita semua belum makan apa-apa. Aku sendiri sudah dua hari tidak
memakan sesuatu. Aku benar-benar pilu memikirkan nasib anak-anakku.”
Dengan
hati sedih Sayyidina ‘Ali KWH berkata: “Mengapa engkau diam saja dan tidak mau
memberitahu sebelumnya, agar aku bisa mendapatkan rizki?”
“Aku
malu kepada ALLOOH...” jawab Siti Faathimah sambil menundukkan kepala, “...aku
tidak mau membebani dirimu dengan sesuatu yang tak dapat kau pukul.”
Demikian
hancur hati Sayyidina ‘Ali RA mendengar jawaban istri yang penuh ketaqwaan dan
kasih sayang itu. Ia pun keluar meninggalkan rumah tanpa mengucapkan sepatah
kata pun. Ia yakin bahwa ALLOOH akan melimpahkan kemurahan kepada keluarganya.
Ia menuju ke rumah seorang teman dengan maksud hendak meminjam uang satu dinar.
Setelah berhasil mendapatkan pinjaman, ia segera pergi membeli makanan untuk
keluarganya. Akan tetapi pada saat sedang mengeluarkan uang dari kocek hendak
membayar makanan yang dibelinya, tiba-tiba dilihatnya salah seorang sahabatnya
sedang berjalan di terik matahari dengan wajah lesu. Sayyidina ‘Ali RA tak
dapat menahan perasaannya dan bertanya: “Hai Miqdad, apa yang memaksamu sampai
keluar di terik matahari seperti ini?”
Miqdad
menyahut: “Hai Abul Hasan, anda tak usah bertanya. Biarkan sajalah aku ini...”
Mendengar
jawaban Miqdad seperti itu Sayyidina ‘Ali RA tambah ingin tahu. Tanpa
menghiraukan jawaban Miqdad ia bertanya lagi: “Saudara, tidak patut Anda
merahasiakan sesuatu kepadaku!”
Dengan
nada kesal dan pikiran bingung Miqdad menyahut: “Kalau Anda benar-benar ingin
mengetahui keadaanku, ketahuilah bahwa aku terpaksa keluar karena tidak tahan
lagi melihat keluargaku menangis kelaparan. Ketika aku melihat anak-anakku yang
masih kecil menangis minta makan, aku lari keluar dalam keadaan bingung. Ke
sana ke mari tanpa tujuan. Seperti orang yang sedang mencari-cari tengkuknya
sendiri. Itulah keadaanku kalau Anda ingin tahu!”
Sayyidina
‘Ali RA menunduk untuk menyembunyikan air mata yang membasahi pipinya. Dengan
hati serasa diremas-remas: “Hai Miqdad, Demi ALLOOH, yang membuat aku resah
hari ini sama seperti yang membuatmu gelisah. Aku baru saja mendapat pinjaman
uang satu dinar...,” kata Sayyidina ‘Ali sambil memperlihatkan uang itu yang
nyaris digunakan untuk membeli makanan bagi keluarganya itu, “... tetapi,
ambillah uang ini. Engkau lebih membutuhkan ketimbang aku.”
Mula-mula
Miqdad agak ragu, tetapi setelah tahu pasti bahwa Sayyidina ‘Ali menyerahkan
uang itu secara ikhlas dan sungguh-sungguh, akhirnya diterimanya juga sambil
menyatakan terima kasih, kemudian cepat-cepat berlalu.
Sayyidina
‘Ali pun segera pulang agar dapat menunaikan sholat dzhuhur bersama
RosuuluLLooh SAW. Seusai sholat, ia tetap tinggal di masjid bersama Beliau SAW
hingga selesai sholat maghrib. Selepas menunaikan sholat, RosuuluLLooh SAW
bangkit dari tempatnya, kemudian berjalan perlahan-lahan lewat depat Sayyidina ‘Ali
yang masih duduk terpaku. Beliau sengaja menyentuhkan kakinya kepada Sayyidina ‘Ali
sebagai isyarat mengajak pulang. Setibanya di pintu masjid, RosuuluLLooh SAW
menoleh kepadanya sambil bertanya: “Abul Hasan, apakah engkau mempunyai makanan
untuk malam ini?”
Sepatah
kata pun Sayyidina ‘Ali tidak menyahut. Ia menundukkan kepala. Alangkah malu
rasanya. Namun RosuuluLLooh SAW segera berkata lagi: “Katakan saja..., kalau
tidak, aku akan pergi, tetapi kalau memang punya, aku akan turut makan
bersama...”
Sayyidina
‘Ali masih tetap diam. Mulutnya terasa tersumbat dan lidah serasa terhambat.
RosuuluLLooh SAW menyambung lagi,”Marilah, kita pulang bersama-sama...”
Mertua
dan menantu itu berjalan menuju ke rumah. Sayyidina ‘Ali masih tetap diam dan
berjalan agak di belakang RosuuluLLooh SAW. Pikirannya galau dan sedemikian
resah campur malu, karena ia yakin di rumah tidak ada sesuatu yang bisa
dimakan.
Setiba
di rumah putrinya, RosuuluLLooh SAW melihat Siti Faathimah sedang berada di
dalam mihrob. Di belakang mihrob tampak sebuah belanga yang terletak di atas
tungku menyala mengepulkan asap. Mendengar suara ayah dan suaminya datang, Siti
Faathimah RA tergopoh-gopoh menyambut dan mengucapkan salam. RosuuluLLooh SAW
menjawab salam putrinya dan sambil memegang tangannya beliau membelai rambut
Siti Faathimah yang hitam dan lebat itu.
Sebagai
jawaban atas pertanyaan ayahandanya Siti Faathimah mengatakan bahwa keadaannya
baik-baik saja, alchamduliLLaah.
Saat
makan malam sudah tiba, Siti Faathimah RA mendekati tungku hendak mengangkat
belanga. Setelah tutupnya dibuka, belanga itu diletakkan di depan ayah dan
suaminya, yang masing-masing sudah siap hendak menikmati hidangan. Tetapi bau
sedap yang keluar dari belanga itu ternyata membingungkan Sayyidina ‘Ali. Raut
mukanya mendadak berubah dan dengan pandangan mata yang tajam ia menatap wajah
istrinya dengan beratus ribu pertanyaan. Tampaknya ia sedang berusaha menahan
ucapan yang hampir lepas dari ujung lidah. Begitu aneh nampaknya wajah Sayyidina
‘Ali pada waktu itu. Heran, cemas, ragu, dan bimbang.
Melihat
perubahan wajah suaminya secara mendadak dan pandangan matanya yang menatap
tajam, Siti Faathimah terheran-heran dan akhirnya bertanya: “Apa dosa dan
kesalahanku sampai engkau menatap aku sedemikian rupa...?”
“Dosa...?
Salah...?” sahut Sayyidina ‘Ali dengan suara terputus-putus menahan amarah dan
luapan emosi. “Dosa apa lagi yang lebih besar? Tadi siang engkau mengatakan
sudah dua hari tidak makan karena tidak mempunyai sesuatu yang bisa dimakan.
Tetapi sekarang...? Dan ini...?” tanya Sayyidina ‘Ali sambil menunjuk ke arah
belangaa yang mengepul mengeluarkan bau sedap.
Sambil
menengadah ke atas, Siti Faathimah RA berucap dengan khusyuk: “Tuhanku
mengetahui segala yang ada di langit dan bumi... Aku tidak mengatakan sesuatu
kepadamu (Yaa ‘Ali) selain yang sebenarnya...” katanya sendu...
“Kalau
begitu, ini dari mana? Belum pernah aku mencium bau masakan sesedap itu. Baru kali
ini aku akan mengenyam makanan selezat itu...!” kata Sayyidina ‘‘Ali. RosuuluLLooh
SAW yang sudah duduk bersila sama sekali tidak turut campur tangan dan tetapi
diam sambil mengikuti percakapan antara suami-istri itu. Tetapi setelah,
dilihatnya bahwa putrinya tidak lagi dapat memberi jawaban yang memuaskan
suaminya, Beliau SAW memegang pundak Sayyidina ‘Ali dan sambil tersenyum dan
berkata: “Wahai ‘Ali, itulah pahala uang satu dinar yang kau berikan kepada
Miqdad. Itulah pahala dari ALLOOH SWT. DIA memberi pahala kepada siapa saja
menurut kehendakNYA tanpa hitungan.”
Dengan
mata berlinang Beliau SAW: “Segala puji bagi ALLOOH yang tidak akan
mengeluarkan kalian dari dunia ini sebelum DIA melimpahkan pahala kepada kalian
seperti yang pernah dilimpahkan kepada keluarga Zakariya. Wahai Faathimah,
ganjaran pahala yang dilimpahkan kepada Maryam yang senantiasa melihat rezeki
tersedia di dalam mihrobnya. Dan ketika Zakaria bertanya kepada Maryam: ‘Dari
mana rizki itu didapat?’ Maryam menjawab: ‘Itulah pemberian ALLOOH’. ALLOOH
melimpahkan rezeki kepada siapa saja menurut kehendakNYA tanpa hitungan.”
WALLOOHU A'LAM
0 comments:
Post a Comment