Sejalan
dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukanlah
pengembangan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, dengan
mempertimbangkan aspek-aspek pengaruh positif dan negatif. Hal ini karena
pendidikan sebagai bagian dari peradaban manusia, mau tidak mau pasti akan
mengalami perubahan dan perkembangan. Akan tetapi realita pendidikan
akhir-akhir ini menunjukkan perubahan dan pemandangan yang kontras, di mana
guru hanya sebagai “pentransfer ilmu” layaknya robot, dan siswa sebagai “penerima”
layaknya robot pula. Dan akhirnya menjadi suatu tatanan “mekanis” bagai mesin. Terlebih
dari itu, masalah akhlak juga kurang diperhatikan, baik akhlak terhadap guru
maupun akhlak terhadap sesame murid. Imam Az-Zarnuji mengatakan bahwa banyak
dari pelajar yang sebenarnya mereka sudah bersungguh-sungguh menuntut ilmu,
namun mereka tidak merasakan nikmatnya ilmu, hal ini disebabkan mereka
meninggalkan atau kurang memperhatikan etika (akhlak) dalam menuntut ilmu.
Oleh
sebab itu, kondisi pendidikan yang demikian mendorong kita untuk membangun cara
pandang baru dalam pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada ilmu
pengetahuan (knowledge oriented) dan keterampilan (skill oriented), namun juga
berorientasi pada nilai (values oriented). Karena proses pembelajaran yang
menekankan pada nilai-nilai akhlak (kejujuran, keharmonisan, dan saling
menghargai) adalah hal yang tidak bisa dikesampingkan, bahkan dielakkan.
Proses pendidikan
yang mengedepankan akhla atau nilai-nilai etika sebagaimana di atas rupanya
mendapat perhatian serius oleh tokoh pendidikan abad ke-12 M, yaitu Imam
Az-Zarnuji. Beliau telah menyusun kitab Ta’limul Muta’aliim yang mana di
dalamnya sarat dengan akhlak atau nilai-nilai etika dan estetika dalam proses
pembelajaran. Kitab ini telah dijadikan referensi bagi santri di sebagian besar
pondok pesantren di nusantara. Adapun nilai akhlak tersebut tampak pada
pemikiran Imam Az-Zarnuji tentang relasi dan interaksi guru dengan murid, murid
dengan murid, bahkan murid dengan lingkungan sekitar.
Kitab Ta’limul
Muta’allim merupakan panduan pembelajaran (belajar mengajar) terutama bagi
murid. Tertulis dalam muqoddimah kitab tersebut dikatakan bahwa pada zamannya,
banyak sekali para penuntut ilmu (murid) yang tekun belajar namun tidak bisa
mendapatkan manfaat dari ilmu tersebut (mengamalkan serta menyebarkannya). Hal ini
terjadi karena peserta didik meninggalkan persyaratan yang harus dipenuhi,
sehingga mereka tidak berhasil. Imam Az-Zarnuji dalam muqoddimah kitab Ta’lim
Muta’allim mengatakan bahwa kitab ini disusun untuk meluruskan tata cara dalam
menuntut ilmu. Adapun dari fasal 1 sampai 13, Imam Az-Zarnuji memberikan solusi
tentang cara-cara menuntut ilmu.
Apabila
kita lihat kembali bagaimana cara sahabat dan tabi’ tabi’in dalam menuntut
ilmu, maka kita akan mendapatkan panutan dalam menuntut ilmu sekaligus
percontohan tentang keutamaan akhlak. Abdur Rochmaan bin Qosim, seorang pelayan
Imam Malik bin Anas, menuturkan kesaksiannya selama menjadi pelayan beliau.
Kata Abdur Rochmaan, “Tidak kurang dua puluh tahun aku menjadi pelayan Imam
Malik. Selama 20 tahun tersebut, aku perhatikan beliau menghabiskan 2 tahun
untuk mempelajari ilmu dan 18 tahun untuk mempelajari akhlak.”
Imam
Malik dan para ulama yang baik lainnya, selalu menjaga kualitas akhlaknya. Akhlak
kepada ALLooh, Rosul dan sesamanya. Ketinggian derajat, pencapaian ilmu yang
mendalam, dan kebesaran wibawa, tidak membuat mereka merasa lebih mulia dan
lebih baik dari orang lain.
Tujuan utama
RosuuluLLooh diturunkan di dunia ini salah satunya adalah memperbaiki akhlak
manusia. Sebagaimana sabdanya: “Aku
diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Dalam surat
Al-Qolam, ALLooh SWT berfirman: “Sesungguhnya
engkau (wahai Muchammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur.”
Meletakkan
akhlak menjadi sangat penting di saat terjadi degradasi moral. Pergaulan bebas
tanpa batas, tawuran massal antar pelajar, sikap anarkis sebagian pelajar saat
melakukan unjuk rasa, dan banyak fenomena lainnya yang ‘memaksa’ kita untuk
jauh lebih lama dalam mempelajari akhlak.
Jika akhlak
seseorang itu sedikit, maka masih jauh lebih baik dari ilmuwan namun menyimpan
banyak pelanggaran. Berapa banyak orang-orang yang berilmu luas, bertitel
akademik, namun ternyata terjerembab dalam kasus korupsi. Berapa banyak para
cerdik pandai, kaum intelektual, namun semakin jauh dari kebenaran (ALLooh).
Dari Sayyidinaa
Jabir: RosuuluLLooh SAW bersabda: “Orang yang paling aku cintai dan yang paling
dekat denganku kedudukannya di surga adalah orang yang paling baik akhlaknya. Orang
yang paling aku benci adalah orang-orang yang pongah dan sombong.”
Setidaknya
ada dua keutamaan bagi orang yang berakhlak. Pertama, akhlak yang baik akan
meningkatkan derajat. Dari Sayyidinaa Anas, Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba mencapai derajat
yang tinggi di hari akhirat dan kedudukan yang mulia karena akhlaknya baik
walaupun ia lemah dalam ibadah.” [HR. Imam Thobarooniy]
Kedua,
akhlak yang baik adalah ukuran keimanan. RosuuluLLooh SAW bersabda: “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah
yang paling baik akhlaknya, yang lemah lembut tidak pernah menyakiti orang. Seorang
manusia tidak akan mencapai hakikat iman sebelum dia mencintai orang lain
seperti ia mencintai dirinya sendiri dan sebelum tetangganya aman dari
gangguannya.”
Di sisi
lain akhlak yang buruk dapat melenyapkan amal. Banyak hadits yang menerangkan
terhapusnya amal karena akhlak yang buruk. Pertama, “Kedengkian memakan kebaikan sama seperti api melalap kayu bakar.”
Kedua,
dari Sayyidinaa Ubaid, dia berkata: ada dua orang wanita berpuasa, dan mereka
sangat menderita karena lapar dan dahaga pada sore harinya. Kemudian kedua
wanita itu mengutus seseorang menghadap RosuuluLLooh SAW, untuk memintakan izin
bagi keduanya agar diperbolehkan menghentikan puasa mereka.
Sesampainya
utusan tersebut kepada RosuuluLLooh SAW, beliau memberikan sebuah mangkuk
kepadanya untuk diberikan kepada kedua wan
ita tadi, seraya memerintahkan agar
keduanya memuntahkan isi perutnya ke dalam mangkuk itu. Ternyata kedua wanita
tersebut memuntahkan darah dan daging segar, sepenuh mangkuk tersebut, sehingga
membuat orang-orang yang menyaksikannya terheran-heran.
RosuuluLLooh
SAW bersabda: “Kedua wanita ini berpuasa
terhadap makanan yang dihalalkan ALLooh tapi membatalkan puasanya itu dengan
perbuatan yang diharamkan oleh-Nya. Mereka duduk bersantai sambil
menggunjingkan orang-orang lain. Maka itulah ‘daging-daging’ mereka yang
dipergunjingkan.” [HR. Imam Achmad]
0 comments:
Post a Comment