Thursday, February 21, 2019

Keutamaan Akhlak


Sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukanlah pengembangan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, dengan mempertimbangkan aspek-aspek pengaruh positif dan negatif. Hal ini karena pendidikan sebagai bagian dari peradaban manusia, mau tidak mau pasti akan mengalami perubahan dan perkembangan. Akan tetapi realita pendidikan akhir-akhir ini menunjukkan perubahan dan pemandangan yang kontras, di mana guru hanya sebagai “pentransfer ilmu” layaknya robot, dan siswa sebagai “penerima” layaknya robot pula. Dan akhirnya menjadi suatu tatanan “mekanis” bagai mesin. Terlebih dari itu, masalah akhlak juga kurang diperhatikan, baik akhlak terhadap guru maupun akhlak terhadap sesame murid. Imam Az-Zarnuji mengatakan bahwa banyak dari pelajar yang sebenarnya mereka sudah bersungguh-sungguh menuntut ilmu, namun mereka tidak merasakan nikmatnya ilmu, hal ini disebabkan mereka meninggalkan atau kurang memperhatikan etika (akhlak) dalam menuntut ilmu.

Oleh sebab itu, kondisi pendidikan yang demikian mendorong kita untuk membangun cara pandang baru dalam pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada ilmu pengetahuan (knowledge oriented) dan keterampilan (skill oriented), namun juga berorientasi pada nilai (values oriented). Karena proses pembelajaran yang menekankan pada nilai-nilai akhlak (kejujuran, keharmonisan, dan saling menghargai) adalah hal yang tidak bisa dikesampingkan, bahkan dielakkan.

Proses pendidikan yang mengedepankan akhla atau nilai-nilai etika sebagaimana di atas rupanya mendapat perhatian serius oleh tokoh pendidikan abad ke-12 M, yaitu Imam Az-Zarnuji. Beliau telah menyusun kitab Ta’limul Muta’aliim yang mana di dalamnya sarat dengan akhlak atau nilai-nilai etika dan estetika dalam proses pembelajaran. Kitab ini telah dijadikan referensi bagi santri di sebagian besar pondok pesantren di nusantara. Adapun nilai akhlak tersebut tampak pada pemikiran Imam Az-Zarnuji tentang relasi dan interaksi guru dengan murid, murid dengan murid, bahkan murid dengan lingkungan sekitar.

Kitab Ta’limul Muta’allim merupakan panduan pembelajaran (belajar mengajar) terutama bagi murid. Tertulis dalam muqoddimah kitab tersebut dikatakan bahwa pada zamannya, banyak sekali para penuntut ilmu (murid) yang tekun belajar namun tidak bisa mendapatkan manfaat dari ilmu tersebut (mengamalkan serta menyebarkannya). Hal ini terjadi karena peserta didik meninggalkan persyaratan yang harus dipenuhi, sehingga mereka tidak berhasil. Imam Az-Zarnuji dalam muqoddimah kitab Ta’lim Muta’allim mengatakan bahwa kitab ini disusun untuk meluruskan tata cara dalam menuntut ilmu. Adapun dari fasal 1 sampai 13, Imam Az-Zarnuji memberikan solusi tentang cara-cara menuntut ilmu.

Apabila kita lihat kembali bagaimana cara sahabat dan tabi’ tabi’in dalam menuntut ilmu, maka kita akan mendapatkan panutan dalam menuntut ilmu sekaligus percontohan tentang keutamaan akhlak. Abdur Rochmaan bin Qosim, seorang pelayan Imam Malik bin Anas, menuturkan kesaksiannya selama menjadi pelayan beliau. Kata Abdur Rochmaan, “Tidak kurang dua puluh tahun aku menjadi pelayan Imam Malik. Selama 20 tahun tersebut, aku perhatikan beliau menghabiskan 2 tahun untuk mempelajari ilmu dan 18 tahun untuk mempelajari akhlak.”

Imam Malik dan para ulama yang baik lainnya, selalu menjaga kualitas akhlaknya. Akhlak kepada ALLooh, Rosul dan sesamanya. Ketinggian derajat, pencapaian ilmu yang mendalam, dan kebesaran wibawa, tidak membuat mereka merasa lebih mulia dan lebih baik dari orang lain.

Tujuan utama RosuuluLLooh diturunkan di dunia ini salah satunya adalah memperbaiki akhlak manusia. Sebagaimana sabdanya: “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Dalam surat Al-Qolam, ALLooh SWT berfirman: “Sesungguhnya engkau (wahai Muchammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur.”

Meletakkan akhlak menjadi sangat penting di saat terjadi degradasi moral. Pergaulan bebas tanpa batas, tawuran massal antar pelajar, sikap anarkis sebagian pelajar saat melakukan unjuk rasa, dan banyak fenomena lainnya yang ‘memaksa’ kita untuk jauh lebih lama dalam mempelajari akhlak.

Jika akhlak seseorang itu sedikit, maka masih jauh lebih baik dari ilmuwan namun menyimpan banyak pelanggaran. Berapa banyak orang-orang yang berilmu luas, bertitel akademik, namun ternyata terjerembab dalam kasus korupsi. Berapa banyak para cerdik pandai, kaum intelektual, namun semakin jauh dari kebenaran (ALLooh).

Dari Sayyidinaa Jabir: RosuuluLLooh SAW bersabda:  “Orang yang paling aku cintai dan yang paling dekat denganku kedudukannya di surga adalah orang yang paling baik akhlaknya. Orang yang paling aku benci adalah orang-orang yang pongah dan sombong.”

Setidaknya ada dua keutamaan bagi orang yang berakhlak. Pertama, akhlak yang baik akan meningkatkan derajat. Dari Sayyidinaa Anas, Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba mencapai derajat yang tinggi di hari akhirat dan kedudukan yang mulia karena akhlaknya baik walaupun ia lemah dalam ibadah.” [HR. Imam Thobarooniy]

Kedua, akhlak yang baik adalah ukuran keimanan. RosuuluLLooh SAW bersabda: “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, yang lemah lembut tidak pernah menyakiti orang. Seorang manusia tidak akan mencapai hakikat iman sebelum dia mencintai orang lain seperti ia mencintai dirinya sendiri dan sebelum tetangganya aman dari gangguannya.”

Di sisi lain akhlak yang buruk dapat melenyapkan amal. Banyak hadits yang menerangkan terhapusnya amal karena akhlak yang buruk. Pertama, “Kedengkian memakan kebaikan sama seperti api melalap kayu bakar.”

Kedua, dari Sayyidinaa Ubaid, dia berkata: ada dua orang wanita berpuasa, dan mereka sangat menderita karena lapar dan dahaga pada sore harinya. Kemudian kedua wanita itu mengutus seseorang menghadap RosuuluLLooh SAW, untuk memintakan izin bagi keduanya agar diperbolehkan menghentikan puasa mereka.

Sesampainya utusan tersebut kepada RosuuluLLooh SAW, beliau memberikan sebuah mangkuk kepadanya untuk diberikan kepada kedua wan
ita tadi, seraya memerintahkan agar keduanya memuntahkan isi perutnya ke dalam mangkuk itu. Ternyata kedua wanita tersebut memuntahkan darah dan daging segar, sepenuh mangkuk tersebut, sehingga membuat orang-orang yang menyaksikannya terheran-heran.

RosuuluLLooh SAW bersabda: “Kedua wanita ini berpuasa terhadap makanan yang dihalalkan ALLooh tapi membatalkan puasanya itu dengan perbuatan yang diharamkan oleh-Nya. Mereka duduk bersantai sambil menggunjingkan orang-orang lain. Maka itulah ‘daging-daging’ mereka yang dipergunjingkan.” [HR. Imam Achmad]

0 comments:

Post a Comment