Orang muslim bisa tahu dan
mengerti akan sesuatu hukum, lebih-lebih syarak yang bersumber dari Al-Qur’an
dan hadits, semuanya berkat kehadiran ulama di sampingnya. Berangkat dari sini,
muncul suatu pertanyaan: Siapa sebenarnya ulama? Untuk menjawab pertanyaan itu,
mari kita buka kembali firman ALLooh SWT dalam surah Faathir ayat 28:
“Sesungguhnya yang takut kepada ALLooh di antara hamba-hamba-NYA,
hanyalah ulama.”
Jadi, ulama adalah satu di antara
hamba-hamba ALLooh yang memiliki rasa takut terhadap-Nya. Pada diri ulama tempat mengadu ummat dari berbagai
permasalahan dunia dan agama. Karena ulamalah ummat bisa menjadi tahu dan
mengerti akan sesuatu. Maka apabila kita tidak tahu dan mengerti akan problema
keagamaan, wajib bagi kita untuk bertanya. Firman ALLooh SWT dalam surah
An-Nahl ayat 43 disebutkan:
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengerti.”
Ayat tersebut mengandung
pengertian, bahwa setiap manusia yang merasa dirinya tidak tahu atau belum
mengerti akan sesuatu hukum lebih-lebih hukum syarak, maka wajib baginya untuk
bertanya kepada seseorang yang mengerti, yaitu ulama. Mengapa harus kepada
ulama kita mengadu dari segala permasalahan keagamaan? RosuuluLLooh SAW
bersabda:
“Sesungguhnya contoh ulama di muka bumi itu, bagaikan bintang yang ada
di langit yang diambil petunjuknya di dalam kegelapan daratan dan lautan.” [HR.
Imam Jaury]
Hadits di atas memberi penjelasan
kepada kita bahwa ulama adalah penerang ummat, karena ulama itu adalah sinar petunjuk
dari kegelapan dan kebodohan dari suatu hukum agama. Ia sebagai sinar keilmuan.
Untuk itu, kepadanyalah kita bertanya segala masalah yang kita sendiri tidak
tahu.
Yang dimaksud ulama di sini
adalah ulama ahli ijtihad, bukan semua ulama. Seperti Imam Syafii, Imam Achmad
bin Hambal dan lain-lain. Sebab Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal adalah
dua imam dari Imam Mahdzab yang di dalam menetapkan hukum menggali langsung
dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, tidak atas pemikirannya sendiri.
Apabila kita semua langsung
mengambil hukum dari Al-Qur’an dan hadits, kemungkinan besar banyak salahnya
daripada benarnya. Sebab kita semua masih buta akan ilmu-ilmu yang bisa
digunakan untuk menggali hukum, seperti ilmu mustholahul hadits, ushul fiqh, dan lain sebagainya. Sebab
RosuuluLLooh SAW telah mengingatkan kita dengan sabdanya:
“Barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan pendapatnya
sendiri, maka nerakalah tempat yang baik baginya.”
Jadi, apabila kita menemukan
persoalan tentang sesuatu hukum, kita jangan lantas berusaha menjawab
sebisa-bisanya dengan mengambil dan menggali hukum sendiri. Sementara ilmu yang
kita miliki belum memungkinkan untuk istimbatul
hukmi (menggali hukum) sendiri, dengan menggunakan metode atau cara tersendiri.
Memang akhir-akhir ini muncul suatu anggapan bahwa keputusan hukum dan metode ushul yang dibuat oleh ulama mahdzab,
sudah tidak efisien lagi. Akan tetapi kita jangan lantas ikut-ikutan, terus
mempercayainya tanpa melihat dan mempertimbangkan lagi apakah anggapan seperti
itu benar.
Untuk itu, dalam kesempatan ini
saya mengajak kepada para jamaah untuk kembali merujuk kepada para ulama.
Selama masih ada kesempatan, usahakan untuk bisa dekat dengan para ulama. Sebab
lambat laun ulama tidak semakin banyak, akan tetapi makin menurun, baik
kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini bisa kita lihat dan saksikan sendiri
bahwa sekarang ulama yang mempunyai ilmu dan kharismatik tinggi sudah banyak
yang dipanggil ALLooh.
Kalau ulama sudah banyak yang
dipanggil ALLooh SWT, maka itu merupakan suatu pertanda bahwa ilmu agama sudah
mulai berkurang dari muka bumi, sebab ALLooh tidak akan mencabut ilmu yang
telah diberikan kepada hamba-hamba-Nya, kecuali dengan wafatnya para ulama.
Sebagaimana sabda RosuuluLLooh SAW:
“Dari Sayyidina AbduLLooh bin
Amr bin Ash berkata, saya mendengar RosuuluLLooh bersabda: “Sesungguhnya ALLooh
tidak akan mencabut ilmu yang telah diberikan kepada hamba-Nya, kecuali dengan
wafatnya para ulama, sehingga ketika tidak ulama orang bodoh-bodoh menjadi
kepala (kyai), maka ketika mereka ditanya tentang masalah lalu menjawab tanpa
dasar ilmu, maka tersesatlah dan menyesatkan.”
Hadits tersebut, mengandung
pengertian bahwa ilmu yang ada di muka bumi ini suatu saat akan dicabut oleh
ALLooh dengan melalui wafatnya para ulama. Kalau semua ulama sudah tidak ada,
maka muncul yang dinamakan ulama gadungan. Kalau hal ini sampai terjadi, maka
masyarakat sudah kehilangan kendali, di mana yang dulunya ulama sebagai
penampung permasalahan ummat, kini berubah haluan menjadi ulama permasalahan
rakyat. Jelasnya, ulama sudah beralih fungsi.
Agar hal semacam ini tidak sampai
terjadi, dalam kesempatan ini saya menghimbau kembali kepada para jamaah untuk
selalu dekat kepada para ulama dan menitipkan anak-anak kita ke pondok
pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya, yang di dalamnya tempat lahir
dan berkembangnya para ulama. Hingga pada akhirnya nanti ulama yang telah gugur
mendahului kita akan bangkit kembali (maksudnya keilmuan yang dia miliki),
dengan munculnya ulama-ulama muda yang siap pakai di tengah masyarakat, negara
dan bangsa, sebagai penerus perjuangan para nabi dan sebagai pelita. Sabda
RosuuluLLooh SAW:
“Para ulama itu adalah lampu di atas bumi, menjadi ganti para Nabi,
sebagai pewarisku, pewaris para Nabi.” [HR. Imam Ibnu ‘Aadiy]
Hadits di atas memberi penjelasan
pada kita, bahwa ulama adalah pelita dunia, dan sekaligus pewaris tali estafet
perjuangan nabi. Kalau kita tidak mendekat kepadanya tentu kita tidak akan
mendapat sinar penerangan dan kemungkinan pada hari kiamat nanti kita tidak
mendapatkan syafaat dari ulama. Sebab ulama adalah satu di antara orang yang
dapat memberi syafaat pada hari kiamat. Sebagaimana sabda RosuuluLLooh SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Ibnu Maajah:
“Ada tiga golongan akan memberi syafaat besok hari kiamat, yaitu: para
Nabi, para ulama dan para syuhada.”
Begitulah peran dan fungsi ulama, tidak saja
berfungsi saat mereka di dunia, tapi bahkan juga berperan kelak di akhirat.
Untuk itu, semoga kita semua selalu berpijak di atas kebenaran yang telah
diperjuangkan oleh para nabi dan rosul yang kemudian diteruskan oleh para
ulama. Dan semoga kita selalu didekatkan kepada para ulama. Sebab dengan dekat
kepada ulama, maka iman dan taqwa kita akan bertambah. Aamiin.
0 comments:
Post a Comment