Thursday, November 29, 2018

Menghindari Sifat Ujub dan Takabbur


Hasil gambar untuk Menghindari Sifat Ujub dan TakaburDalam kitab Bidayatul Hidayah, Imam Ghozali menyebut ujub sebagai penyakit kronis (ad-daul idlal). Kepada diri sendiri, pengidap penyakit ini merasa mulia dan dan besar diri, sementara kepada orang lain ada kecenderungan untuk meremehkan dan merendahkan.

Biasanya buah dari sikap ini, kata Imam Ghozali adalah obral keakuan, gemar mengatakan aku begini, aku begitu. Seperti yang iblis la’natuLLooh katakana ketika menolak perintah ALLooh untuk hormat kepada Nabi Adam AS.
“aku lebih baik dari Adam. Kau ciptakan aku dari api sementara Kau ciptakan dia dari tanah.” [QS. Al-A’raf:12]

Dalam majelis-majelis, pengidap penyakit ujub juga suka meninggikan diri sendiri, serta ingin selalu menonjol dan terdepan. Saat bercakap-cakap atau berdialog umumnya orang seperti ini tak mau kalah dan dibantah.

Di dalam kitab yang sama, Imam Ghozali menerangkan takabbur dan ujub dengan definisi yang mirip. Katanya, orang yang takabbur (mutakabbir) gusar ketika menerima nasihat tapi kasar saat memberi nasihat.

Siapa saja yang menganggap dirinya baik dari hamba ALLooh yang lain, itulah mutakabbir. Lantas bagaimana agar bias keluar dari jeratan ini? Imam Ghozali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah memberikan tips dengan mengembalikannya pada manajemen pikiran.

“Ketahuilah bahwa kebaikan adalah kebaikan menurut ALLooh di akhirat kelak. Itu perkara ghoib (tidak diketahui) dan karenanya menunggu peristiwa kematian. Keyakinan bahwa dirimu lebih baik dari selainmu adalah kebodohan belaka. Sepatutnya kau tidak memandang orang lain kecuali dengan pandangan bahwa ia lebih baik ketimbang dirimu dan memiliki keutamaan di atas dirimu.”

Ujub dan takabur adalah tentang dua entitas antara diri sendiri dan orang lain. Yang ditekankan adalah bagaimana yang pertama menata pikiran agar terhindar dari perasaan lebih istimewa dari yang kedua. Secara praktis, kiat-kiat yang ditawarkan Imam Ghozali adalah sebagai berikut:

Pertama, bila yang disebut orang lain itu anak kecil maka sadarlah bahwa ia belum pernah bermaksiat kepada ALLooh, sementara dirimu yang lebih tua sebaliknya. Tak diragukan lagi, anak kecil itu lebih baik dari dirimu.

Kedua, bila orang lain itu lebih tua, beranggapanlah bahwa ia beribadah kepada ALLooh lebih dulu ketimbang dirimu, sehingga tentu orang tersebut lebih baik dari dirimu.

Ketiga, bila orang lain itu berilmu, beranggapanlah bahwa ia telah menerima anugerah yang tidak engkau peroleh, menjangkau apa yang belum kau capai, mengetahui apa yang tidak engkau ketahui. Jika sudah begini, bagaimana mungkin kau sepadan dengan dirinya, apalagi lebih unggul?

Keempat, bila orang lain itu bodoh, beranggapanlah bahwa kalaupun bermaksiat orang bodoh berbuat atas dasar kebodohannya, sementara dirimu berbuat maksiat justru dengan bekal ilmu. Ini yang menjadi alasan atau dasar (hujjah) pada pengadilan di akhirat kelak.

Kelima, bila orang lain itu kafir, beranggapanlah bahwa kondisi akhir hayat seseorang tidak ada yang tahu. Bisa jadi orang kafir itu di kemudian hari masuk Islam lalu meningga dunia dengan amalan yang terbaik (husnul khotimah). Jika demikian, ia keluar dari dosa-dosa masa lalu sebagaimana keluarnya sehelai rambut dari adonan roti, mudah sekali. Sementara dirimu? Bisa jadi ALLooh sesatkan dirimu di ujung kehidupan, berubah haluan menjadi kafir, lalu menutup usiamu dengan amal terburuk (su’ul khotimah). Dengan demikian, muslim dan kafir sekarang masih sangat mungkin berbalik nasib di kemudian hari. Dirimu yang kini muslim di kemudian hari masuk kelompok orang yang jauh dari ALLooh dan dia yang sekarang kafir mungkin di kemudian hari masuk golongan orang yang dekat dengan ALLooh
Tampak sekali Imam Ghozali hendak menutup peluang timbulnya ujub dan takabur dengan menunjukkan kemungkinan-kemungkinan terburuk dalam diri manusia. Seolah beliau ingin mengatakan bahwa sepatutnya seseorang menghabiskan energinya untuk instropeksi (muhasabah) kepada diri sendiri ketimbang sibuk menghakimi kualitas diri orang lain. Sebab, hakim sejati hanyalah ALLooh dan keputusan final yang hakiki hanya ada di akhira, bukan di dunia ini.

Tak seyogyanya seseorang takabur atau berbangga diri karena merasa lebih baik dari yang lain. Sebab, menurut Imam Ghozali, kebaikan sejati adalah kebaikan di sisi ALLooh di akhirat kelak dan tak seorang pun tahu tentang hal itu. Yang bias dilakukan manusia hanyalah ikhtiar sesempurna mungkin berbuat baik sementara mengenai prestasi atau capaian nilai, kita serahkan kepada Sang Hakim Sejati.

Siapa yang memberi jaminan bahwa ahli ibadah atau orang pandai bakal berakhir dengan kebaikan saat ajal menjemput (husmul khotimah)? Sebaliknya, bukankah sangat mudah bagi ALLooh membalikkan hati para pendosa, bahkan kafir sekalipun, sehingga ia wafat dalam kondisi taubat dan kemuliaan?

WALLOOHU A’LAM BISH SHOWAAB

0 comments:

Post a Comment