Dalam kitab Bidayatul Hidayah,
Imam Ghozali menyebut ujub sebagai penyakit kronis (ad-daul idlal). Kepada diri
sendiri, pengidap penyakit ini merasa mulia dan dan besar diri, sementara
kepada orang lain ada kecenderungan untuk meremehkan dan merendahkan.
Biasanya buah dari sikap ini,
kata Imam Ghozali adalah obral keakuan, gemar mengatakan aku begini, aku
begitu. Seperti yang iblis la’natuLLooh katakana ketika menolak perintah ALLooh
untuk hormat kepada Nabi Adam AS.
“aku lebih baik dari Adam. Kau
ciptakan aku dari api sementara Kau ciptakan dia dari tanah.” [QS. Al-A’raf:12]
Dalam majelis-majelis, pengidap
penyakit ujub juga suka meninggikan diri sendiri, serta ingin selalu menonjol
dan terdepan. Saat bercakap-cakap atau berdialog umumnya orang seperti ini tak
mau kalah dan dibantah.
Di dalam kitab yang sama, Imam
Ghozali menerangkan takabbur dan ujub dengan definisi yang mirip. Katanya,
orang yang takabbur (mutakabbir) gusar ketika menerima nasihat tapi kasar saat
memberi nasihat.
Siapa saja yang menganggap
dirinya baik dari hamba ALLooh yang lain, itulah mutakabbir. Lantas bagaimana
agar bias keluar dari jeratan ini? Imam Ghozali dalam kitabnya Bidayatul
Hidayah memberikan tips dengan mengembalikannya pada manajemen pikiran.
“Ketahuilah bahwa kebaikan adalah
kebaikan menurut ALLooh di akhirat kelak. Itu perkara ghoib (tidak diketahui)
dan karenanya menunggu peristiwa kematian. Keyakinan bahwa dirimu lebih baik
dari selainmu adalah kebodohan belaka. Sepatutnya kau tidak memandang orang
lain kecuali dengan pandangan bahwa ia lebih baik ketimbang dirimu dan memiliki
keutamaan di atas dirimu.”
Ujub dan takabur adalah tentang
dua entitas antara diri sendiri dan orang lain. Yang ditekankan adalah
bagaimana yang pertama menata pikiran agar terhindar dari perasaan lebih
istimewa dari yang kedua. Secara praktis, kiat-kiat yang ditawarkan Imam
Ghozali adalah sebagai berikut:
Pertama, bila yang disebut orang
lain itu anak kecil maka sadarlah bahwa ia belum pernah bermaksiat kepada
ALLooh, sementara dirimu yang lebih tua sebaliknya. Tak diragukan lagi, anak kecil
itu lebih baik dari dirimu.
Kedua, bila orang lain itu lebih
tua, beranggapanlah bahwa ia beribadah kepada ALLooh lebih dulu ketimbang
dirimu, sehingga tentu orang tersebut lebih baik dari dirimu.
Ketiga, bila orang lain itu
berilmu, beranggapanlah bahwa ia telah menerima anugerah yang tidak engkau
peroleh, menjangkau apa yang belum kau capai, mengetahui apa yang tidak engkau
ketahui. Jika sudah begini, bagaimana mungkin kau sepadan dengan dirinya,
apalagi lebih unggul?
Keempat, bila orang lain itu
bodoh, beranggapanlah bahwa kalaupun bermaksiat orang bodoh berbuat atas dasar
kebodohannya, sementara dirimu berbuat maksiat justru dengan bekal ilmu. Ini yang
menjadi alasan atau dasar (hujjah) pada pengadilan di akhirat kelak.
Kelima, bila orang lain itu
kafir, beranggapanlah bahwa kondisi akhir hayat seseorang tidak ada yang tahu. Bisa
jadi orang kafir itu di kemudian hari masuk Islam lalu meningga dunia dengan
amalan yang terbaik (husnul khotimah). Jika demikian, ia keluar dari dosa-dosa
masa lalu sebagaimana keluarnya sehelai rambut dari adonan roti, mudah sekali. Sementara
dirimu? Bisa jadi ALLooh sesatkan dirimu di ujung kehidupan, berubah haluan
menjadi kafir, lalu menutup usiamu dengan amal terburuk (su’ul khotimah). Dengan
demikian, muslim dan kafir sekarang masih sangat mungkin berbalik nasib di
kemudian hari. Dirimu yang kini muslim di kemudian hari masuk kelompok orang
yang jauh dari ALLooh dan dia yang sekarang kafir mungkin di kemudian hari
masuk golongan orang yang dekat dengan ALLooh
Tampak sekali Imam Ghozali hendak
menutup peluang timbulnya ujub dan takabur dengan menunjukkan
kemungkinan-kemungkinan terburuk dalam diri manusia. Seolah beliau ingin
mengatakan bahwa sepatutnya seseorang menghabiskan energinya untuk instropeksi
(muhasabah) kepada diri sendiri ketimbang sibuk menghakimi kualitas diri orang
lain. Sebab, hakim sejati hanyalah ALLooh dan keputusan final yang hakiki hanya
ada di akhira, bukan di dunia ini.
Tak seyogyanya seseorang takabur
atau berbangga diri karena merasa lebih baik dari yang lain. Sebab, menurut
Imam Ghozali, kebaikan sejati adalah kebaikan di sisi ALLooh di akhirat kelak
dan tak seorang pun tahu tentang hal itu. Yang bias dilakukan manusia hanyalah
ikhtiar sesempurna mungkin berbuat baik sementara mengenai prestasi atau
capaian nilai, kita serahkan kepada Sang Hakim Sejati.
Siapa yang memberi jaminan bahwa
ahli ibadah atau orang pandai bakal berakhir dengan kebaikan saat ajal
menjemput (husmul khotimah)? Sebaliknya, bukankah sangat mudah bagi ALLooh
membalikkan hati para pendosa, bahkan kafir sekalipun, sehingga ia wafat dalam
kondisi taubat dan kemuliaan?
WALLOOHU A’LAM BISH SHOWAAB
0 comments:
Post a Comment