Thursday, August 9, 2018

Cinta Tanah Air Sang Habib


Hasil gambar untuk cinta tanah air sang habibRutinitas peringatan Hari Kemerdekaan yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi sebuah kewajiban bagi bangsa Indonesia untuk memupuk cinta terhadap tanah airnya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu memposisikan pahlawan yang telah berjuang mempertahankan negeri ini dari rongrongan penjajahan pada posisi yang semestinya. Memupuk cinta terhadap tanah air dengan menghargai jasa pahlawan bukan hanya sekedar mengenang jasa tanpa melanjutkan perjuangan mereka Nusantara dari rongrongan penjajahan, baik fisik maupun non fisik.

Kita tahu bahwa bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Dalam kurun waktu yang panjang itu rakyat menderita dan tertindas. Mereka hidup di tanah air mereka sendiri, tetapi seolah-olah mereka tidak memiliki tanah air. Negara yang terjajah akan senantiasa tertindas. Misi penjajah membawa semboyan 3G, yakni Gold (Kekayaan), Gospel (Penyebaran Agama) dan Glory (Kejayaan). Penjajah selalu bertujuan menguasai kekayaan alam serta hasil bumi tanah jajahannya. Pendekatan Sosiologi Politik di dalam sebuah teori Postkolonial menyebutkan bahwa Negara Barat diposisikan sebagai kelompok superior yang menguasai dan menindas dengan inferior.

Kemerdekaan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda dan Jepang tidak lepas dari perjuangan tulus para ulama dan habaib. Bila habaib bermukim di suatu tempat, maka tempat ini merupakan bagian dari Indonesia yang harus dijaga dan diselamatkan dari semua bentuk kedzholiman, yakni kolonialisme. Nabi Besar Muchammad SAW dalam sebuah haditsnya menyatakan bahwa cinta terhadap tanah air merupakan sebagian dari iman, meski nyawa menjadi taruhannya. Oleh karena itu, prinsip kenegaraan yang dipegang teguh oleh ulama dan habaib adalah agar Indonesia tidak pernah tertindas dan diberlakukan semena-mena oleh bangsa lain. Meski harus bertaruh dengan nyawa, mereka tak akan gentar untuk melawan semua bentuk kedurjanaan.

Pangeran Diponegoro adalah pahlawan yang gigih mengusir penjajah dalam Perang Diponegoro yang terjadi antara tahun 1825-1830. Beliau adalah ulama Habaib yang getol memimpin perlawanan terhadap Belanda. Beliau juga dikenal memiliki kesaktian, berjalur nasab sampai kepada RosuuluLLooh SAW, melekat pada darah datuk beliau Sayyidina Hasan RA dan Husain RA. Kita tahu bahwa Sayyidina Husain meninggal di padang Karbala. Raden Mas Sayyid Antawirya yang dilahirkan pada tanggal 11 November 1785 memberi keteladanan kepada kaum muslimin khususnya dan bangsa Indonesia umumnya bahwa para Habaib menolak dan melawan semua bentuk kolonialisme.

Jiwa Nasionalisme para Habaib dalam menjaga pusaka Ibu Pertiwi dari rongrongan kolonialisme diwujudkan dalam bentuk perang fisik seperti dilakukan oleh Pangeran Diponegoro. Ada pula yang berjuang lewat ide dan pemikiran yang tertuang dalam tulisan-tulisan perjuangan dengan tujuan menumbuhkan rasa cinta terhadap Tanah Air. Mereka ada yang berkarya untuk Indonesia lewat dunia seni dan sastra dengan menciptakan lagu kebangsaan seperti yang dilakukan oleh Habib Husin Al Muthahar, atau yang lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan sebutan H. Muthahar. Beliau menyelamatkan bendera Sang Saka Merah Putih. Pada tanggal 19 Desember 1948 kolonial Belanda berhasil menawan Presiden DR (HC) Soekarno dan Wakil Presiden DR. (HC) Muhammad Hatta. Pada waktu itu, Bung Karno memerintahkan H. Muthahar, ajudan kesayangannya, untuk menyelamatkan bendera Sang Saka Merah Putih. Selain berjiwa heroic tinggi, beliau juga seseorang sastrawan yang pandai dalam menorehkan pena untuk membangkitkan semangat cinta tanah air lewat syair-syair kebangsaan yang indah dan menyentuh sanubari. Karya monumental beliau adalah Hari Merdeka, Hymne Pramuka, Hymne Syukur dan Dirgahayu Indonesia.

Pesan moral yang tertuang dalam karya-karya syair di atas adalah agar dalam jiwa dan sanubari para pemuda Indonesia tertanam rasa memiliki dan menjaga Indonesia dari bahaya neokolonialisme yang pada saat ini melanda negeri saat ini digencarkan melalui penjajahan ekonomi. Penjajahan ini meracuni masyarakat agar merasa lebih bangga menggunakan produk-produk buatan luar negeri, ketimbang produksi dalam negeri. Di samping itu, penjajahan lewat pemikiran juga digencarkan oleh musuh-musuh bangsa dengan jalan perang secara non fisik yang lebih kita kenal dengan nama Ghazuul Fikri (Perang Pemikiran). Mereka menggelontorkan pemikiran yang merusak otak-otak dan moral generasi bangsa yang kita kenal dengan istilah 3S (Sing/ music, Sex/ gambar porno dan film porno, Sport/ kecanduan dalam bidang dunia olahraga) dan 4F (Fun/ tontonan yang mengarah pada lawakan, Fashion/  model dalam berpakaian, Food/ konsumsi makanan dan ekspansi merk makanan, Faith/ kepercayaan dan pemikiran yang menyimpang dari aqiidah Ahlussunnah Wal Jamaa’ah).

Perilaku menyimpang dapat menghilangkan kesempurnaan iman seseorang. Kita perlu menengok sejarah Ulama Habaib dalam mempertaruhkan jiwa dan raga mereka menjaga dan melindungi NKRI dari kejahatan koloni Belanda. Ingatlah Ulama Habaib seperti Habib Salim bin Achmad bin Jindan yang ikut berjuang mengusir penjajahan Belanda. Pada tahun1940 M beliau berhijrah ke Jakarta. Di kota Batavia inilah beliau gencar melakukan perlawanan terhadap semua bentuk penindasan terhadap rakyat yang dilakukan oleh penjajah Belanda. Komando jihad melawan penjajahan Belanda dikobarkan oleh Sang Habib, sehingga oleh Habib Idrus bin Salim Al Jufri beliau dijuluki Singa Podium. Beliau pernah ditangkap, baik ketika pada masa pendudukan Jepang, maupun ketika Belanda kembali untuk berkuasa di negeri ini lewat aksi Polisionil I pada tahun 1947 dan 1948. Di dalam tahanan penjajah, Habib pernah disiksa, diestrum dan berbagai siksaan lainnya. Namun, dalam proses perjuangan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar itu beliau tetap tabah dan tegar dalam membela tanah air Indonesia tercinta.

 Para Habaib atau anak-cucu RosuuluLLooh SAW tak memiliki rasa takut ketika harus berjihad membela pusaka Ibu Pertiwi. Bahkan nyawa menjadi taruhan mereka dalam mempertahankan tanah air dari rongrongan penjajah. Darah pejuang dan jiwa kepahlawanan melekat pada diri Habaib ini, dan mereka berada pada garda paling depan untuk menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Kita tentu bangga memiliki pejuang Islam dan bangsa di era Globalisasi seperti Al Habib Prof. Dr. Muhammad Rizieq bin Husin bin Shihab yang berani menegakkan kebenaran dan keadilan, dan harus mengorbankan keluarganya ketika harus keluar masuk bui.

Figur ulama akhirat yang seperti diungkapkan oleh Al Habib AbduLLooh bin Alwi Al Haddad adalah mereka yang memiliki jiwa ikhlas. Mereka tak gentar dibenci oleh orang-orang kafir dan kaum munafik. Sulit kita menemukan sosok ulama akhirat pemberani seperti beliau walaupun harus menempuh 800 tahun seperti yang diungkapkan oleh Al Habib Salim bin AbduLLooh Asy Syatiri.

Medan juang para Habaib dalam mempertahankan tanah air ada yang lewat dunia pendidikan, membangun masyarakat untuk cinta kepada ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang agama. Mereka ada yang mendirikan madrasah dan perguruan untuk mencerdaskan masyarakat seperti yang dilakukan oleh Al Habib Idrus bin Salim Al Jufri yang berhasil mengubah masyarakat wilayah Indonesia Timur dari faham-faham menyimpang dari Islam seperti Dinamisme, Atheisme dan Salibis menjadi Aqiidah Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah. Pada masa pendudukan Jepang Madrasah Al Khoirot sempat ditutup, tapi beliau tak sedikit pun menyerah dan patah semangat dengan perlakuan semena-mena penjajah Jepang. Beliau memindahkan lokasi pembelajaran agar anak didiknya tetap belajar dan menuntut ilmu.

Kita teringat pada sebuah pesan fenomenal yang diungkapkan oleh Presiden RI pertama, DR. (HC) Soekarno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawanannya.” Ummat Islam khususnya dan bangsa Indonesia umumnya harus bangga dan menjunjung tinggi jasa pahlawan yang sebagian di antaranya adalah mereka yang bergaris keturunan RosuuluLLooh SAW. Orang-orang ini pernah berjuang dengan darah dan air mata demi tegaknya keutuhan NKRI tercinta. Oleh RosuuluLLooh SAW mereka disebut pengaman bumi. Selagi keturunan RosuuluLLooh SAW masih ada di tengah-tengah masyarakat, maka negeri dan bangsa akan aman. Selaras dengan sabda Nabi Muchammad SAW, “Bintang-bintang adalah pengaman penduduk langit. Apabila bintang-bintang tersebut tidak ada, penduduk langit juga akan binasa. Ahlulbaitku adalah pengaman penduduk bumi. Apabila ahlulbaitku binasa, penduduk bumi juga akan binasa.”

Sebagai bangsa Indonesia, kita patut bersyukur bahwa tanah air Indonesia tercinta masih dihuni oleh keturunan Nabi Muchammad SAW yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Mereka berjuang pada manhaj atau metode yang lurus dengan mengajak masyarakat untuk menjaga pusaka Ibu Pertiwi ini dengan jalan cinta, akhlaq dan kasih-sayang. Semoga kita dapat mengikuti jejak perjuangan Sang Habib dalam membela dan menjaga tanah air tercinta.

0 comments:

Post a Comment