Rutinitas peringatan Hari
Kemerdekaan yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi sebuah kewajiban
bagi bangsa Indonesia untuk memupuk cinta terhadap tanah airnya. Bangsa yang
besar adalah bangsa yang mampu memposisikan pahlawan yang telah berjuang
mempertahankan negeri ini dari rongrongan penjajahan pada posisi yang
semestinya. Memupuk cinta terhadap tanah air dengan menghargai jasa pahlawan
bukan hanya sekedar mengenang jasa tanpa melanjutkan perjuangan mereka Nusantara
dari rongrongan penjajahan, baik fisik maupun non fisik.
Kita tahu bahwa bangsa Indonesia
dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Dalam kurun waktu yang panjang itu
rakyat menderita dan tertindas. Mereka hidup di tanah air mereka sendiri,
tetapi seolah-olah mereka tidak memiliki tanah air. Negara yang terjajah akan
senantiasa tertindas. Misi penjajah membawa semboyan 3G, yakni Gold (Kekayaan),
Gospel (Penyebaran Agama) dan Glory (Kejayaan). Penjajah selalu
bertujuan menguasai kekayaan alam serta hasil bumi tanah jajahannya. Pendekatan
Sosiologi Politik di dalam sebuah
teori Postkolonial menyebutkan bahwa
Negara Barat diposisikan sebagai kelompok superior yang menguasai dan menindas
dengan inferior.
Kemerdekaan bangsa Indonesia dari
belenggu penjajahan Belanda dan Jepang tidak lepas dari perjuangan tulus para
ulama dan habaib. Bila habaib bermukim di suatu tempat, maka tempat ini
merupakan bagian dari Indonesia yang harus dijaga dan diselamatkan dari semua
bentuk kedzholiman, yakni kolonialisme. Nabi Besar Muchammad SAW dalam sebuah
haditsnya menyatakan bahwa cinta terhadap tanah air merupakan sebagian dari
iman, meski nyawa menjadi taruhannya. Oleh karena itu, prinsip kenegaraan yang
dipegang teguh oleh ulama dan habaib adalah agar Indonesia tidak pernah tertindas
dan diberlakukan semena-mena oleh bangsa lain. Meski harus bertaruh dengan
nyawa, mereka tak akan gentar untuk melawan semua bentuk kedurjanaan.
Pangeran Diponegoro adalah
pahlawan yang gigih mengusir penjajah dalam Perang
Diponegoro yang terjadi antara tahun 1825-1830. Beliau adalah ulama Habaib
yang getol memimpin perlawanan terhadap Belanda. Beliau juga dikenal memiliki
kesaktian, berjalur nasab sampai kepada RosuuluLLooh SAW, melekat pada darah
datuk beliau Sayyidina Hasan RA dan Husain RA. Kita tahu bahwa Sayyidina Husain
meninggal di padang Karbala. Raden Mas Sayyid Antawirya yang dilahirkan pada
tanggal 11 November 1785 memberi keteladanan kepada kaum muslimin khususnya dan
bangsa Indonesia umumnya bahwa para Habaib menolak dan melawan semua bentuk
kolonialisme.
Jiwa Nasionalisme para Habaib
dalam menjaga pusaka Ibu Pertiwi dari rongrongan kolonialisme diwujudkan dalam
bentuk perang fisik seperti dilakukan oleh Pangeran Diponegoro. Ada pula yang
berjuang lewat ide dan pemikiran yang tertuang dalam tulisan-tulisan perjuangan
dengan tujuan menumbuhkan rasa cinta terhadap Tanah Air. Mereka ada yang
berkarya untuk Indonesia lewat dunia seni dan sastra dengan menciptakan lagu
kebangsaan seperti yang dilakukan oleh Habib Husin Al Muthahar, atau yang lebih
dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan sebutan H. Muthahar. Beliau
menyelamatkan bendera Sang Saka Merah Putih. Pada tanggal 19 Desember 1948
kolonial Belanda berhasil menawan Presiden DR (HC) Soekarno dan Wakil Presiden
DR. (HC) Muhammad Hatta. Pada waktu itu, Bung Karno memerintahkan H. Muthahar,
ajudan kesayangannya, untuk menyelamatkan bendera Sang Saka Merah Putih. Selain
berjiwa heroic tinggi, beliau juga seseorang sastrawan yang pandai dalam
menorehkan pena untuk membangkitkan semangat cinta tanah air lewat syair-syair
kebangsaan yang indah dan menyentuh sanubari. Karya monumental beliau adalah Hari
Merdeka, Hymne Pramuka, Hymne Syukur dan Dirgahayu Indonesia.
Pesan moral yang tertuang dalam
karya-karya syair di atas adalah agar dalam jiwa dan sanubari para pemuda
Indonesia tertanam rasa memiliki dan menjaga Indonesia dari bahaya
neokolonialisme yang pada saat ini melanda negeri saat ini digencarkan melalui
penjajahan ekonomi. Penjajahan ini meracuni masyarakat agar merasa lebih bangga
menggunakan produk-produk buatan luar negeri, ketimbang produksi dalam negeri.
Di samping itu, penjajahan lewat pemikiran juga digencarkan oleh musuh-musuh
bangsa dengan jalan perang secara non fisik yang lebih kita kenal dengan nama Ghazuul
Fikri (Perang Pemikiran). Mereka menggelontorkan pemikiran yang merusak
otak-otak dan moral generasi bangsa yang kita kenal dengan istilah 3S (Sing/ music, Sex/ gambar porno dan film porno, Sport/ kecanduan dalam bidang dunia olahraga) dan 4F (Fun/ tontonan yang mengarah pada
lawakan, Fashion/ model dalam berpakaian, Food/ konsumsi makanan dan ekspansi merk makanan, Faith/ kepercayaan dan pemikiran yang
menyimpang dari aqiidah Ahlussunnah Wal Jamaa’ah).
Perilaku menyimpang dapat
menghilangkan kesempurnaan iman seseorang. Kita perlu menengok sejarah Ulama
Habaib dalam mempertaruhkan jiwa dan raga mereka menjaga dan melindungi NKRI
dari kejahatan koloni Belanda. Ingatlah Ulama Habaib seperti Habib Salim bin
Achmad bin Jindan yang ikut berjuang mengusir penjajahan Belanda. Pada tahun1940
M beliau berhijrah ke Jakarta. Di kota Batavia inilah beliau gencar melakukan
perlawanan terhadap semua bentuk penindasan terhadap rakyat yang dilakukan oleh
penjajah Belanda. Komando jihad melawan penjajahan Belanda dikobarkan oleh Sang
Habib, sehingga oleh Habib Idrus bin Salim Al Jufri beliau dijuluki Singa Podium. Beliau pernah ditangkap,
baik ketika pada masa pendudukan Jepang, maupun ketika Belanda kembali untuk
berkuasa di negeri ini lewat aksi Polisionil I pada tahun 1947 dan 1948. Di
dalam tahanan penjajah, Habib pernah disiksa, diestrum dan berbagai siksaan
lainnya. Namun, dalam proses perjuangan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar itu
beliau tetap tabah dan tegar dalam membela tanah air Indonesia tercinta.
Para Habaib atau anak-cucu RosuuluLLooh SAW
tak memiliki rasa takut ketika harus berjihad membela pusaka Ibu Pertiwi.
Bahkan nyawa menjadi taruhan mereka dalam mempertahankan tanah air dari
rongrongan penjajah. Darah pejuang dan jiwa kepahlawanan melekat pada diri
Habaib ini, dan mereka berada pada garda paling depan untuk menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Kita tentu
bangga memiliki pejuang Islam dan bangsa di era Globalisasi seperti Al Habib
Prof. Dr. Muhammad Rizieq bin Husin bin Shihab yang berani menegakkan kebenaran
dan keadilan, dan harus mengorbankan keluarganya ketika harus keluar masuk bui.
Figur ulama akhirat yang seperti
diungkapkan oleh Al Habib AbduLLooh bin Alwi Al Haddad adalah mereka yang
memiliki jiwa ikhlas. Mereka tak gentar dibenci oleh orang-orang kafir dan kaum
munafik. Sulit kita menemukan sosok ulama akhirat pemberani seperti beliau
walaupun harus menempuh 800 tahun seperti yang diungkapkan oleh Al Habib Salim
bin AbduLLooh Asy Syatiri.
Medan juang para Habaib dalam
mempertahankan tanah air ada yang lewat dunia pendidikan, membangun masyarakat
untuk cinta kepada ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang agama. Mereka ada
yang mendirikan madrasah dan perguruan untuk mencerdaskan masyarakat seperti
yang dilakukan oleh Al Habib Idrus bin Salim Al Jufri yang berhasil mengubah
masyarakat wilayah Indonesia Timur dari faham-faham menyimpang dari Islam
seperti Dinamisme, Atheisme dan Salibis menjadi Aqiidah Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah. Pada masa
pendudukan Jepang Madrasah Al Khoirot sempat ditutup, tapi beliau tak sedikit pun
menyerah dan patah semangat dengan perlakuan semena-mena penjajah Jepang.
Beliau memindahkan lokasi pembelajaran agar anak didiknya tetap belajar dan
menuntut ilmu.
Kita teringat pada sebuah pesan
fenomenal yang diungkapkan oleh Presiden RI pertama, DR. (HC) Soekarno, “Bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawanannya.” Ummat Islam
khususnya dan bangsa Indonesia umumnya harus bangga dan menjunjung tinggi jasa
pahlawan yang sebagian di antaranya adalah mereka yang bergaris keturunan RosuuluLLooh
SAW. Orang-orang ini pernah berjuang dengan darah dan air mata demi tegaknya
keutuhan NKRI tercinta. Oleh RosuuluLLooh SAW mereka disebut pengaman bumi.
Selagi keturunan RosuuluLLooh SAW masih ada di tengah-tengah masyarakat, maka
negeri dan bangsa akan aman. Selaras dengan sabda Nabi Muchammad SAW, “Bintang-bintang adalah pengaman penduduk
langit. Apabila bintang-bintang tersebut tidak ada, penduduk langit juga akan
binasa. Ahlulbaitku adalah pengaman penduduk bumi. Apabila ahlulbaitku binasa,
penduduk bumi juga akan binasa.”
Sebagai bangsa Indonesia, kita
patut bersyukur bahwa tanah air Indonesia tercinta masih dihuni oleh keturunan
Nabi Muchammad SAW yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Mereka berjuang
pada manhaj atau metode yang lurus dengan
mengajak masyarakat untuk menjaga pusaka Ibu Pertiwi ini dengan jalan cinta,
akhlaq dan kasih-sayang. Semoga kita dapat mengikuti jejak perjuangan Sang
Habib dalam membela dan menjaga tanah air tercinta.
0 comments:
Post a Comment