Ahlus
Sunnah Wal Jamaa’ah selalu menjaga kebersamaan. Kata Al-Jamaa’ah juga mengacu
pada arti menjaga kebersamaan dan kerukunan. Perbedaan pendapat di kalangan
mereka tidak melahirkan sikap saling mengkafirkan, dan membid’ahkan.
Imam
Abu Manshur Al-Baghdadi di dalam al-Farq Baina al-Firaq menjelaskan penjagaan
ALLOOH terhadap ASWAJA dari saling mengkafirkan antar sesame. Karena itu,
mereka memang golongan yang selalu menjaga kebersamaan dan keharmonisan
(al-jamaa’ah) yang melaksanakan kebenaran. ALLOOH selalu menjaga kebenaran dan
pengikutnya, sehingga tak terjerumus dalam ketidakharmonisan dan pertentangan.
Sejarah
mengungkap, selain Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah tidak ada yang memelihara
kebersamaan. Imam Abu Manshur Al-Baghdadi menjelaskan:
“Tidak ada satu pun golongan di
luar Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, kecuali di antara mereka saling mengkafirkan
dan memutus hubungan, seperti Khowarij, Syi’ah dan Qodariyah (Mu’tazilah).
Sehingga pernah suatu ketika, tujuh orang dari mereka berkumpul dalam satu
majelis, lalu mereka berbeda pendapat dan mereka berpisah dengan saling
mengkafirkan antara mereka.”
Bahkan
Ibnu Taimiyyah menyatakan:
“Bid’ah identik dengan
perpecahan, sebagaimana Sunnah identik dengan kebersamaan, sehingga dikatakan
Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, sebagaimana halnya dikatakan ahl al-bid’ah wa al-farqoh.”
Seseorang
tetap dihukumi muslim, kecuali terdapat dalil jelas yang menunjukkan fakta
sebaliknya. Hal ini berdasarkan hadits RosuuluLLooh SAW yang diriwayatkan oleh
Imam Anas bin Malik:
“Barangsiapa sholat seperti
sholat kita, menghadap kiblat kita, memakan sembelihan kita, maka dia muslim.
Dia memiliki hak seperti hak kita serta memiliki kewajiban seperti kewajiban
kita.” [HR. Imam Bukhooriy]
Menyematkan
hukum kafir pada seseorang membutuhkan penelitian mendalam pada ucapan atau
perbuatannya. Tidak setiap ucapan atau perbuatan menyimpang dapat menyebabkan
seseorang kafir. Masyarakat harus berhati-hati dalam hal ini dan menyerahkan
urusannya kepada ulama’ yang kompeten.
Sahabat
AbduLLooh bin ‘Umar RAnhuma dan Sayyidina Abu Huroiroh RA meriwayatkan,
RosuuluLLooh SAW bersabda:
“Jika seseorang mengatakan kepada
saudaranya: “Wahai kafir”, maka sungguh ucapan itu menimpa salah satu dari
keduanya. Bila saudaranya memang kafir maka seperti itu, bila tidak maka hal
itu kembali kepada yang mengucapkannya.” [HR. Imam Bukhooriy dan Imam Muslim]
Takfir
(memvonis kafir) adalah permasalahan yang berat konsekuensinya. Seorang muslim
tidak dapat dihukumi kafir selagi ucapannya masih bias diberi makna baik, atau
dalam hal kekufurannya masih terdapat perbedaan pendapat di antara ulama’.
Keislaman seseorang tidak dapat hilang Karena keragu-raguan. Imam Ibnu Abidin
menjelaskan:
“Keterangan dalam Jami’
al-Fushulain dan al-Fatawa al-Sughro: “Kekufuran adalah urusan besar, maka aku
tidak menghukumi seorang mukmin menjadi kafir selagi aku dapatkan riwayat bahwa
ia tidak dapat dikafirkan.” Disebutkan dalam al-Khulashoh dan lainnya: “Jika
dalam suatu kasus terdapat beberapa pendapat yang menyebabkan penghukuman kafir
dan ada satu pendapat yang tidak menyebabkan pengkafiran, maka mufti harus
condong pada pendapat yang menghalangi pengkafiran. Hal ini untuk berprasangka
baik terhadap seorang muslim.” Dalam al-Bazzaziyah disebutkan: “Kecuali jika ia
mengatakan secara jelas (shorih) dengan sengaja sesuatu yang menyebabkan kufur,
maka ta’wil tidak berguna lagi.” Dalam at-Tatarkhoniyyah dijelaskan: “Seseorang
tidak dihukumi kafir dengan kegamangan, Karena kekufuran adalah puncak sanksi,
maka meniscayakan pula telah terbuktinya puncak perilaku salah. Sementara
kegamangan tidak memastikan adanya puncak (sanksi) tersebut. Yang diputuskan
dalam madzhab, tidak diputuskan hukum kafir bagi seorang muslim selagi
ucapannya dapat dita’wil pada makna yang baik, atau dalam kekufurannya masih
ada perbedaan pendapat, meskipun diwakili oleh satu riwayat lemah.”
0 comments:
Post a Comment