Sering kita mendambakan keluarga
yang bahagia atau harmonis, baik yang
baru melaksanakan pernikahan maupun yang sudah lama namun belum merasakan
kebahagian dalam keluarga. Sebagaimana kita maklumi, tujuan dari pernikahan itu
sendiri adalah mencari ketenangan bersama suami istri dalam rumah tangga. Akan
tetapi terkadang ketenangan itu belum dapat kita dapatkan.
Pembaca yang berbahagia,,
Sebagaimana kita maklumi, bahwa
terciptanya rumah tangga itu karena adanya pernikahan antara calon suami dan
calon istri, di mana keduanya ingin hidup bersama dalam satu atap dan satu
cita-cita dengan memegang peranan dan tanggung jawab menurut posisi dan fitrah
masing-masing. Dengan begitu, kebahagiaan suatu rumah tangga tergantung pada
pelakunya, yaitu suami istri. Kalau keduanya saling menenggang rasa dan
tanggung jawab masing-masing sesuai dengan posisi dan fitrahnya, niscaya rumah
tangga itu akan bahagia. Sebaliknya, apabila suami istri di dalam rumah
tangganya sama-sama atau salah satunya tidak bertanggung jawab dan mengingkari
perasaannya, maka sangat boleh jadi rumah tangga sudah barang tentu akan
menyebabkan tidak tenangnya suami-istri. Sekaligus ketenangan hidup itu tidak
berhasil. Lantas kapan suami istri dapat membangun rumah tangga yang bahagia
sehingga dapat membantu upaya untuk meningkatkan ketaqwaan keduanya kepada
ALLooh?
Pembaca yang dirohmati ALLooh,,
Untuk mencapai rumah tangga yang
bahagia yang kita idamkan kita, marilah kita ikuti petunjuk Al-Qur’an yang kita
yakini kebenarannya.
1. Mu’asyaroh bil ma’ruf. Sebagaimana yang
disebutkan dalam surah An-Nisaa ayat 19:
“Dan pergauilah mereka (istri-istrimu) secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal ALLooh menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Sebagai suami harus menghargai
istrinya, memahami perasaan istrinya serta mengetahui kebutuhan istrinya.
Kebutuhan itu tidak hanya berupa materi, tapi dalam bentuk pengertian,
penghargaan, kasih saying dan kebutuhan untuk merasa diperlukan. Semua itu
sangat didambakan si istri.
Jadi, istri itu jangan
diperlakukan sebagai seorang yang harus selalu tunduk kepada suami, namun bukan
berarti istri harus melawan suami. Akan tetapi istri harus diajak musyawarah
dan berunding dalam segala hal yang menyangkut masalah bersama di dalam
keluarga. Apa saja yang dilakukan dan diperbuat, selama itu menyangkut masalah
rumah tangga, maka perlu adanya perundingan antara suami dan istri. Istri
adalah mitra sejajar bagi suami.
2. Kepemimpinan
keluarga ada pada suami. Karena kodrat fitrahnya laki-laki itu memang lebih
kuat dari wanita. Tidak mungkin wanita yang akan memimpin dan tidak mungkin
pula tanpa pimpinan. Hal tersebut dijelaskan dalam surah Al-Baqoroh ayat 228:
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang baik. Akan tetapi laki-laki (para suami) mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada mereka (istrinya). Dan ALLooh Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.”
Apakah satu tingkat kelebihan
bagi laki-laki itu? Tersebut dalam surah An-Nisaa ayat 34:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena ALLooh telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka.”
Dalam kedua ayat di atas, jelas
bahwa kepemimpinan keluarga ada pada laki-laki atau suami, karena kelebihan
kodrat fisiknya dan keharusan nafkah atau pembiayaan kebutuhan keluarga pada
suami.
Suami sebagai pemimpin dan kepala
rumah keluarga, tak ubahnya seperti “kepala”, yang tak bisa jalan tanpa ada
anggotanya, seperti kaki, tangan dan lain-lain. Maka diperlukan adanya anggota
keluarga yang baik dan sehat dengan memberinya perhatian dan pengertian. Jangan
sampai istri dan anggota keluarga lain menderita. Oleh karena itu, peran suami
sangat besar bagi kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga.
3.
Saling pengertian. Sebagaimana telah kami
uraikan di atas, bahwa suami-istri mempunyai hak dan kewajiban. Apabila
masing-masing melaksanakan kewajibannya dan memenuhi haknya, saling menenggang
perasaan dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan posisi dan fitrahnya,
niscaya rumah tangga itu akan bahagia. Tenggang rasa atau saling pengertian
berarti pula saling menjauhi sikap atau pembicaraan yang dapat membuat perasaan
orang lain tersinggung, tidak dihargai atau merasa dihina, seolah-olah
diremehkan dan lain sebagainya. Orang akan merasa bahagia jika ia merasa
dihargai. Karena itu, jangan sampai menganggap orang lain remeh atau menganggap
tidak ada harganya seperti dianggap bodoh, hina dan lain-lain.
Kemudian seandainya dalam rumah
tangga terjadi perselisihan, usahakanlah adanya perdamaian. Sebagai suami tidak
boleh main hakim sendiri. Apalagi sampai memukul, menyiksa atau berbuat
semaunya. Perdamaian dapat diperoleh dengan berunding di antara suami dan istri
itu sendiri atau kalau perlu keluarga dari kedua belah pihak berunding untuk
membantu mencari penyelesaian. Dan hal ini terdapat dalam surah An-Nisaa ayat
35:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya
(suami-istri), maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki
dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya ALLooh memberi taufiq kepada suami-istri itu.
Sesungguhnya ALLooh Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.”
Pembaca, yang dimuliakan oleh
ALLooh,,
Demikianlah uraian singkat
tentang rumah tangga bahagia, semoga kita dapat berhasil membina rumah tangga
yang bahagia sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an. Sebab jika keluarga itu bahagia,
tenang, tenteram, penuh pengertian dan kasih saying, maka suasana itu akan
memantul dan bergema dalam masyarakat. Selain itu kewajiban agama seseorang
akan dapat berjalan dengan baik dan tertib. Oleh sebab itu, membina rumah
tangga pun termasuk ibadah, yang berarti akan mendapat pahala dari ALLooh SWT.
0 comments:
Post a Comment