Saturday, April 27, 2019

Membina Keluarga Bahagia


Hasil gambar untuk Membina Keluarga BahagiaSering kita mendambakan keluarga yang bahagia atau  harmonis, baik yang baru melaksanakan pernikahan maupun yang sudah lama namun belum merasakan kebahagian dalam keluarga. Sebagaimana kita maklumi, tujuan dari pernikahan itu sendiri adalah mencari ketenangan bersama suami istri dalam rumah tangga. Akan tetapi terkadang ketenangan itu belum dapat kita dapatkan.

Pembaca yang berbahagia,,
Sebagaimana kita maklumi, bahwa terciptanya rumah tangga itu karena adanya pernikahan antara calon suami dan calon istri, di mana keduanya ingin hidup bersama dalam satu atap dan satu cita-cita dengan memegang peranan dan tanggung jawab menurut posisi dan fitrah masing-masing. Dengan begitu, kebahagiaan suatu rumah tangga tergantung pada pelakunya, yaitu suami istri. Kalau keduanya saling menenggang rasa dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan posisi dan fitrahnya, niscaya rumah tangga itu akan bahagia. Sebaliknya, apabila suami istri di dalam rumah tangganya sama-sama atau salah satunya tidak bertanggung jawab dan mengingkari perasaannya, maka sangat boleh jadi rumah tangga sudah barang tentu akan menyebabkan tidak tenangnya suami-istri. Sekaligus ketenangan hidup itu tidak berhasil. Lantas kapan suami istri dapat membangun rumah tangga yang bahagia sehingga dapat membantu upaya untuk meningkatkan ketaqwaan keduanya kepada ALLooh?

Pembaca yang dirohmati ALLooh,,
Untuk mencapai rumah tangga yang bahagia yang kita idamkan kita, marilah kita ikuti petunjuk Al-Qur’an yang kita yakini kebenarannya.

1.       Mu’asyaroh bil ma’ruf. Sebagaimana yang disebutkan dalam surah An-Nisaa ayat 19:
“Dan pergauilah mereka (istri-istrimu) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal ALLooh menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Sebagai suami harus menghargai istrinya, memahami perasaan istrinya serta mengetahui kebutuhan istrinya. Kebutuhan itu tidak hanya berupa materi, tapi dalam bentuk pengertian, penghargaan, kasih saying dan kebutuhan untuk merasa diperlukan. Semua itu sangat didambakan si istri.

Jadi, istri itu jangan diperlakukan sebagai seorang yang harus selalu tunduk kepada suami, namun bukan berarti istri harus melawan suami. Akan tetapi istri harus diajak musyawarah dan berunding dalam segala hal yang menyangkut masalah bersama di dalam keluarga. Apa saja yang dilakukan dan diperbuat, selama itu menyangkut masalah rumah tangga, maka perlu adanya perundingan antara suami dan istri. Istri adalah mitra sejajar bagi suami.

2.       Kepemimpinan keluarga ada pada suami. Karena kodrat fitrahnya laki-laki itu memang lebih kuat dari wanita. Tidak mungkin wanita yang akan memimpin dan tidak mungkin pula tanpa pimpinan. Hal tersebut dijelaskan dalam surah Al-Baqoroh ayat 228:
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang baik. Akan tetapi laki-laki (para suami) mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada mereka (istrinya). Dan ALLooh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Apakah satu tingkat kelebihan bagi laki-laki itu? Tersebut dalam surah An-Nisaa ayat 34:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena ALLooh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan  sebagian dari harta mereka.”

Dalam kedua ayat di atas, jelas bahwa kepemimpinan keluarga ada pada laki-laki atau suami, karena kelebihan kodrat fisiknya dan keharusan nafkah atau pembiayaan kebutuhan keluarga pada suami.

Suami sebagai pemimpin dan kepala rumah keluarga, tak ubahnya seperti “kepala”, yang tak bisa jalan tanpa ada anggotanya, seperti kaki, tangan dan lain-lain. Maka diperlukan adanya anggota keluarga yang baik dan sehat dengan memberinya perhatian dan pengertian. Jangan sampai istri dan anggota keluarga lain menderita. Oleh karena itu, peran suami sangat besar bagi kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga.

3.       Saling pengertian. Sebagaimana telah kami uraikan di atas, bahwa suami-istri mempunyai hak dan kewajiban. Apabila masing-masing melaksanakan kewajibannya dan memenuhi haknya, saling menenggang perasaan dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan posisi dan fitrahnya, niscaya rumah tangga itu akan bahagia. Tenggang rasa atau saling pengertian berarti pula saling menjauhi sikap atau pembicaraan yang dapat membuat perasaan orang lain tersinggung, tidak dihargai atau merasa dihina, seolah-olah diremehkan dan lain sebagainya. Orang akan merasa bahagia jika ia merasa dihargai. Karena itu, jangan sampai menganggap orang lain remeh atau menganggap tidak ada harganya seperti dianggap bodoh, hina dan lain-lain.
Kemudian seandainya dalam rumah tangga terjadi perselisihan, usahakanlah adanya perdamaian. Sebagai suami tidak boleh main hakim sendiri. Apalagi sampai memukul, menyiksa atau berbuat semaunya. Perdamaian dapat diperoleh dengan berunding di antara suami dan istri itu sendiri atau kalau perlu keluarga dari kedua belah pihak berunding untuk membantu mencari penyelesaian. Dan hal ini terdapat dalam surah An-Nisaa ayat 35:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya (suami-istri), maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya ALLooh memberi taufiq kepada suami-istri itu. Sesungguhnya ALLooh Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.”

Pembaca, yang dimuliakan oleh ALLooh,,
Demikianlah uraian singkat tentang rumah tangga bahagia, semoga kita dapat berhasil membina rumah tangga yang bahagia sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an. Sebab jika keluarga itu bahagia, tenang, tenteram, penuh pengertian dan kasih saying, maka suasana itu akan memantul dan bergema dalam masyarakat. Selain itu kewajiban agama seseorang akan dapat berjalan dengan baik dan tertib. Oleh sebab itu, membina rumah tangga pun termasuk ibadah, yang berarti akan mendapat pahala dari ALLooh SWT.

0 comments:

Post a Comment