Pernahkah Anda jengkel dengan kelakuan orang yang sudah jelas-jelas terbukti korupsi masih menunjukkan rasa tak bersalah sama sekali? Atau gelisah dengan diri sendiri yang mengalami kebuntuan pikiran akut tanpa tahu apa sebabnya? Atau beribadah secara tekun tapi tak merasakan sama sekali manisnya ibadah tersebut—hati tetap terasa gersang? Atau terasa ada dorongan penolakan oleh ego saat kita menerima nasihat?
Bisa jadi hal itu disebabkan oleh adanya barang haram dalam tubuh seseorang. Dalam Islam, mengonsumsi yang halal adalah wajib. Masuknya barang haram dalam diri manusia tak hanya membuat ia dosa tapi juga berdampak lanjutan kepada keruhnya batin dan kerasnya hati.
Syekh Abu Ishaq Ibrahim al-Matbuli pernah berwasiat: “Hindarilah olehmu makanan yang haram. Sebab makanan yang haram mengeraskan hati, menggelapkannya, dan menghalanginya dalam bermakrifah kepada Allah, serta merusakkan pakaian (akhlak luhur).” (Syekh Abdul Wahab asy-Sya’rani dalam al-Minahussaniyyah)
Dengan demikian, ada konsekuensi nyata dari apa seseorang makan terhadap kondisi hatinya: semakin mendekat kepada ALLooh atau justru menjauh dari-Nya. Makanan tidak semata membawa akibat pada kesehatan jasmani kita tapi juga suasana rohani kita karena di dalamnya terdapat peraturan ALLooh yang mesti ditaati, yakni keharusan kita memakan barang yang halal.
Dalam fiqih keharaman barang dipengaruhi oleh setidaknya dua hal. Pertama, haram secara substansial (li dzÃĒtihi). Barang tersebut diharamkan oleh syariat bisa karena membawa mudharat bagi tubuh, memabukkan, merusak akal, najis, menjijikkan, atau disebut oleh nash Al-Qur’an atau hadits. Contoh dari barang haram model ini antara lain arak, narkoba, kotoran, bangkai, daging babi, dan lain sebagainya. Dalam keadaan tidak terpaksa, makanan-makanan jenis ini secara substansial haram.
Kedua, haram karena faktor luar (li ghairihi). Bisa jadi barang-barang yang kita makan secara substansial halal dimakan namun karena proses mendapatkannya tidak dibenarkan syariat makanan itu berubah status menjadi haram. Karena itu, Islam tidak hanya menganjurkan pemeluknya untuk mencari makanan halal (secara substansial) tapi juga menggunakan cara-cara yang halal. Seperti harta hasil korupsi atau maling, gaji melakukan kejahatan, suap, penghasilan hasil menipu, serta judi atau taruhan.
Luqman al-Hakim pernah memberikan nasihat kepada anaknya: “Wahai anakku, jangan kamu makan barang haram dan mengisi perut terlalu kenyang. Sebab pikiran akan tertidur (beku). Kalau pikiran beku (tidak kreatif) maka ilmu pengetahuan pun akan pergi, dan dirimu akan merasa berat melakukan ibadah kepada Allah
Syekh Wahab Asy-Sya’rani menjelaskan lebih lanjut dalam kitab al-Minahus Saniyyah bahwa ada tujuh akibat yang datang apabila seorang mengisi perut terlalu kenyang (apalagi dengan barang haram dan syubhat). Yakni, hati menjadi keras, merusak kecerdasan dan kreativitas akal pikiran, menghilangkan hafalan, memberatkan badan untuk beribadah kepada Allah, malas belajar, memperkuat syahwat, dan membantu perangkap setan.
Rasuulullaah bersabda: “Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih utama baginya.”
Itulah dampak-dampak rohani yang bakal dialami di dunia bagi siapa saja yang sengaja memasukkan barang haram di dalam tubuhnya. Dampak lebih ekstrem tentu akan diterima kelak di kehidupan akhirat. Karena surga enggan menerima orang-orang yang tubuhnya terdapat barang haram.
WALLOOHU A’LAM BISH SHOWAAB
0 comments:
Post a Comment