Demikianlah,
Romadhoon telah meninggalkan kita. Tapi kebaikan-kebaikan lain tetap harus
dipertahankan. Puasa Romadhoon memang telah berakhir, tapi puasa-puasa sunnah,
misalnya tidaklah berakhir dan senantiasa menanti kita. Seperti puasa enam hari
di bulan Syawwal, puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan (Ayyaamul
Bidh, tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan), puasa Asyuro’ (tanggal 10
Mucharrom), puasa Arofah (tanggal 9 Dzulhijjah), dan yang lainnya.
Tarowih memang
telah berlalu, tapi Tahajjud misalnya, tetap senantiasa menanti kita. Juga
bermunajat di tengah malam, yang merupakan kebiasaan orang-orang shoolich. Imam
Abu Sulaiman Ad-Daarooniy rochimahuLLooh berkata,”Seandainya tidak ada malam, niscaya
aku tidak ingin hidup di dunia.”
Zakat fitrah
memang telah berlalu, tapi zakat wajib dan pintu sedekah masih terbuka lebar
pada waktu-waktu yang lain. Karenanya, memasuki ‘Idul Fithri, yang berarti jiwa
kita menjadi fithri (suci), “tampilan” kita harus lebih islami. Baik tujuan,
orientasi, motivasi, fikroh (pemikiran), akhlaq, moral, perilaku, interaksi,
kebijakan, aktivitas, kiprah, peran, maupun yang lainnya. Individu, rumah
tangga, ataupun kehidupan bersosial. Rakyat ataupun pejabat. Semua itu merupakan
indikator diterimanya puasa Romadhoon kita.
Karena itu
jika ALLOOH SWT menerima amal seseorang, maka ALLOOH akan menolongnya untuk
menuju perubahan diri ke arah yang lebih baik dan meningkatkan amal
kebajikannya.
Seorang
penyair Arab meningatkan kita dalam syairnya:
“Bukanlah
Hari Raya ‘Id itu bagi orang yang berbaju baru. Melainkan hakikat ‘Id itu bagi
orang yang bertambah taatnya.”
TANDA-TANDA
DITERIMANYA AMALAN KITA DI BULAN ROMADHOON
v
Barangsiapa yang sebelum
Romadhoon suka tidur setelah Shubuh, maka sekarang ia tidak lagi suka tidur
setelah shubuh, melainkan Berdzikir kepada ALLOOH sampai matahari terbit.
v
Barangsiapa yang sebelum
Romadhoon tidak bangun malam untuk beribadah, maka setelah Romadhoon ia menjadi
orang yang suka menghidupkan malam.
v
Barangsiapa yang sebelum
Romadhoon tidak mengindahkan sholat berjamaa’ah, maka setelah Romadhoon ia
selalu menjaga sholat berjamaa’ah.
v
Barangsiapa yang sebelum
Romadhoon tidak menyukai imu dan ulama’, maka setelah Romadhoon ia menjadi
orang yang suka kepada ilmu dan ulama’.
v
Barangsiapa yang sebelum
Romadhoon tidak mengindahkan sholat dhucha dan sholat witir, dan sholat sunnah
rowatib, maka setelah Romadhoon ia senantiasa menjaga untuk melakukan
sholat-sholat tersebut.
v
Barangsiapa yang sebelum
Romadhoon suka melihat perkara-perkara yang charom, maka setelah Romadhoon ia
menjadi orang yang takut kepada ALLOOH dan memelihara pandangannya.
v
Barangsiapa yang sebelum
Romadhoon suka menggunjing, maka setelah Romadhoon ia tidak melakukannya lagi.
v
Barangsiapa yang sebelum
Romadhoon suka durhaka kepada kedua orang tuanya, maka setelah Romadhoon ia
menjadi orang yang berbuat kebajikan kepada kedua orang tuanya, melayani dengan
hak-haknya.
v
Barangsiapa yang sebelum
Romadhoon suka memutuskan tali silaturochim, maka setelah Romadhoon ia menjadi
orang yang menjalin silaturrochim kepada sanak kerabat.
Beginilah dalam hal kebaikan ia menjadi lebih baik.
Itulah tanda-tanda diterimanya amalan ibadah selama di bulan Romadhoon, dan
tanda-tanda dibebaskannya dari api neraka.
Semoga dengan latihan yang telah kita lakukan di bulan
Romadhoon lalu, ALLOOH menyampaikan kita kepada ketaqwaan. Semoga ketaqwaan itu
dapat terus kita pertahankan dan kita jadikan sebagai pakaian sehari-hari. Dan
semoga kita masih dapat dijumpakan dengan Romadhoon yang akan datang.
TaqobbalaLLoohu minna wa minkum.
SALING BERMAAF-MAAFAN
Saat bertemu satu sama lain, kaum
muslimin saling bermaafan, seraya saling mendoakan. Sebuah chadiits yang
diriwayatkan dari Sayyidina Kholid bin Ma’dan RA mengatakan,”Aku menemui Watsilah
bin Al-Asqo’ pada hari ‘Id, lalu aku mengatakan,’TaqobbalaLLooh minna wa minka
(Semoga ALLOOH menerima amal ibadahku dan amal ibadahmu)’.”
Lalu ia menjawab,”TaqobbalaLLooh minna wa minka.”
Kemudian Sayyidina Watsilah berkata,”Aku
menemui RosuuluLLooh SAW pada hari ‘Id, lalu aku mengatakan,’TaqobbalaLLooh
minna wa minka’.”
Lalu RosuuluLLooh SAW menjawab,”Ya, TaqobbalaLLooh
minna wa minka.” [HR. Imam Baichaqi]
Selanjutnya di masa shochabat, ucapan ini
agak berubah sedikit. Jika sebagian shochabat bertemu dengan sebagian yang
lain, mereka berkata,” TaqobbalaLLooh minna wa minkum (Semoga ALLOOH menerima
amal ibadahku dan amal ibadahmu)’.” [HR. Imam Achamad dengan sanad yang baik]
Pada hari raya, RosuuluLLooh SAW
mempersilahkan para shochabat untuk bergembira. Seperti mengadakan pertunjukkan
tari dan musik, makan dan minum, serta hiburan lainnya. Namun semua kegembiraan
itu tidak dilakukan secara berlebihan atau melanggar batas kecharoman. Karena,
hari itu adalah hari makan-makan, minum-minum, dan dzikir kepada ALLOOH Azza wa
Jalla [HR. Imam Muslim]
Siti Aisyah RA mengatakan,”Di hari raya
‘Idul Fithri, RosuuluLLooh masuk ke rumahku. Ketika itu, di sampingku ada dua
orang tetangga yang sedang bernyanyi dengan nyanyian bu’ats (bagian dari
nyanyian hari-hari besar bangsa Arab ketika terjadi perselisihan antara Kabilah
Aush dan Khozroj sebelum masuk Islam). Kemudian RosuuluLLooh berbaring sambil
memalingkan mukanya.
Tidak lama setelah itu Sayyidina Abu
Bakar masuk, lalu ia berkata,’Kenapa membiarkan nyanyian setan berada di
samping RosuuluLLooh’
Mendengar hal itu, RosuuluLLooh menengok kepada Sayyidina Abu Bakar seraya berkata,’Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita.’ [HR. Imam Bukhooriy dan Imam Muslim]
0 comments:
Post a Comment