Monday, July 4, 2016

Setelah Romadhoon dan Tradisi Saling Bermaaf-maafan

Demikianlah, Romadhoon telah meninggalkan kita. Tapi kebaikan-kebaikan lain tetap harus dipertahankan. Puasa Romadhoon memang telah berakhir, tapi puasa-puasa sunnah, misalnya tidaklah berakhir dan senantiasa menanti kita. Seperti puasa enam hari di bulan Syawwal, puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan (Ayyaamul Bidh, tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan), puasa Asyuro’ (tanggal 10 Mucharrom), puasa Arofah (tanggal 9 Dzulhijjah), dan yang lainnya.


Tarowih memang telah berlalu, tapi Tahajjud misalnya, tetap senantiasa menanti kita. Juga bermunajat di tengah malam, yang merupakan kebiasaan orang-orang shoolich. Imam Abu Sulaiman Ad-Daarooniy rochimahuLLooh berkata,”Seandainya tidak ada malam, niscaya aku tidak ingin hidup di dunia.”

Zakat fitrah memang telah berlalu, tapi zakat wajib dan pintu sedekah masih terbuka lebar pada waktu-waktu yang lain. Karenanya, memasuki ‘Idul Fithri, yang berarti jiwa kita menjadi fithri (suci), “tampilan” kita harus lebih islami. Baik tujuan, orientasi, motivasi, fikroh (pemikiran), akhlaq, moral, perilaku, interaksi, kebijakan, aktivitas, kiprah, peran, maupun yang lainnya. Individu, rumah tangga, ataupun kehidupan bersosial. Rakyat ataupun pejabat. Semua itu merupakan indikator diterimanya puasa Romadhoon kita.

Karena itu jika ALLOOH SWT menerima amal seseorang, maka ALLOOH akan menolongnya untuk menuju perubahan diri ke arah yang lebih baik dan meningkatkan amal kebajikannya.

Seorang penyair Arab meningatkan kita dalam syairnya:
Bukanlah Hari Raya ‘Id itu bagi orang yang berbaju baru. Melainkan hakikat ‘Id itu bagi orang yang bertambah taatnya.”

TANDA-TANDA DITERIMANYA AMALAN KITA DI BULAN ROMADHOON
v  Barangsiapa yang sebelum Romadhoon suka tidur setelah Shubuh, maka sekarang ia tidak lagi suka tidur setelah shubuh, melainkan Berdzikir kepada ALLOOH sampai matahari terbit.
v  Barangsiapa yang sebelum Romadhoon tidak bangun malam untuk beribadah, maka setelah Romadhoon ia menjadi orang yang suka menghidupkan malam.
v  Barangsiapa yang sebelum Romadhoon tidak mengindahkan sholat berjamaa’ah, maka setelah Romadhoon ia selalu menjaga sholat berjamaa’ah.
v  Barangsiapa yang sebelum Romadhoon tidak menyukai imu dan ulama’, maka setelah Romadhoon ia menjadi orang yang suka kepada ilmu dan ulama’.
v  Barangsiapa yang sebelum Romadhoon tidak mengindahkan sholat dhucha dan sholat witir, dan sholat sunnah rowatib, maka setelah Romadhoon ia senantiasa menjaga untuk melakukan sholat-sholat tersebut.
v  Barangsiapa yang sebelum Romadhoon suka melihat perkara-perkara yang charom, maka setelah Romadhoon ia menjadi orang yang takut kepada ALLOOH dan memelihara pandangannya.
v  Barangsiapa yang sebelum Romadhoon suka menggunjing, maka setelah Romadhoon ia tidak melakukannya lagi.
v  Barangsiapa yang sebelum Romadhoon suka durhaka kepada kedua orang tuanya, maka setelah Romadhoon ia menjadi orang yang berbuat kebajikan kepada kedua orang tuanya, melayani dengan hak-haknya.
v  Barangsiapa yang sebelum Romadhoon suka memutuskan tali silaturochim, maka setelah Romadhoon ia menjadi orang yang menjalin silaturrochim kepada sanak kerabat.
Beginilah dalam hal kebaikan ia menjadi lebih baik. Itulah tanda-tanda diterimanya amalan ibadah selama di bulan Romadhoon, dan tanda-tanda dibebaskannya dari api neraka.

Semoga dengan latihan yang telah kita lakukan di bulan Romadhoon lalu, ALLOOH menyampaikan kita kepada ketaqwaan. Semoga ketaqwaan itu dapat terus kita pertahankan dan kita jadikan sebagai pakaian sehari-hari. Dan semoga kita masih dapat dijumpakan dengan Romadhoon yang akan datang.

TaqobbalaLLoohu minna wa minkum.

SALING BERMAAF-MAAFAN

Saat bertemu satu sama lain, kaum muslimin saling bermaafan, seraya saling mendoakan. Sebuah chadiits yang diriwayatkan dari Sayyidina Kholid bin Ma’dan RA mengatakan,”Aku menemui Watsilah bin Al-Asqo’ pada hari ‘Id, lalu aku mengatakan,’TaqobbalaLLooh minna wa minka (Semoga ALLOOH menerima amal ibadahku dan amal ibadahmu)’.”

Lalu ia menjawab,”TaqobbalaLLooh minna wa minka.”
Kemudian Sayyidina Watsilah berkata,”Aku menemui RosuuluLLooh SAW pada hari ‘Id, lalu aku mengatakan,’TaqobbalaLLooh minna wa minka’.”
Lalu RosuuluLLooh SAW menjawab,”Ya, TaqobbalaLLooh minna wa minka.” [HR. Imam Baichaqi]

Selanjutnya di masa shochabat, ucapan ini agak berubah sedikit. Jika sebagian shochabat bertemu dengan sebagian yang lain, mereka berkata,” TaqobbalaLLooh minna wa minkum (Semoga ALLOOH menerima amal ibadahku dan amal ibadahmu)’.” [HR. Imam Achamad dengan sanad yang baik]

Pada hari raya, RosuuluLLooh SAW mempersilahkan para shochabat untuk bergembira. Seperti mengadakan pertunjukkan tari dan musik, makan dan minum, serta hiburan lainnya. Namun semua kegembiraan itu tidak dilakukan secara berlebihan atau melanggar batas kecharoman. Karena, hari itu adalah hari makan-makan, minum-minum, dan dzikir kepada ALLOOH Azza wa Jalla [HR. Imam Muslim]

Siti Aisyah RA mengatakan,”Di hari raya ‘Idul Fithri, RosuuluLLooh masuk ke rumahku. Ketika itu, di sampingku ada dua orang tetangga yang sedang bernyanyi dengan nyanyian bu’ats (bagian dari nyanyian hari-hari besar bangsa Arab ketika terjadi perselisihan antara Kabilah Aush dan Khozroj sebelum masuk Islam). Kemudian RosuuluLLooh berbaring sambil memalingkan mukanya.

Tidak lama setelah itu Sayyidina Abu Bakar masuk, lalu ia berkata,’Kenapa membiarkan nyanyian setan berada di samping RosuuluLLooh’

Mendengar hal itu, RosuuluLLooh menengok kepada Sayyidina Abu Bakar seraya berkata,’Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita.’ [HR. Imam Bukhooriy dan Imam Muslim]

0 comments:

Post a Comment