Friday, April 28, 2017

Menikahlah dengan yang Sepadan

Diriwayatkan dari Siti Aisyah RAnha, dia berkata bahwa RosuuluLLooh SAW bersabda:
"Pilihlah ladang benihmu (calon istrimu yang terbaik) dan menikahlah dengan yang sepadan serta nikahkanlah (bujang-bujang kalian) dengan mereka yang sepadan". [HR. Imam Ibnu Majah, Imam Baihaqi dan Imam Hakim]

Sesungguhnya kafa'ah (sepadan) merupakan unsur yang sangat penting dalam membina kehidupan rumah tangga. Sepadan bukan berarti meniadakan atau meremehkan kedudukan unsur agama, mengingat unsur agama merupakan landasan pokok yang mendasari pemilihan, tetapi unsur agama pun dilakukan dalam bingkai kesepadanan ini.

Dengan pengertian lain, manakala kita memilih suami untuk anak perempuan kita, maka kita haruslah mencari calon suami yang sepadan dengannya. Sudah barang tentu calon suami ini adalah seorang lelaki yang berakhlaq, kuat agamanya, dan dapat dipercaya. Sesungguhnya kita sering melihat berbagai macam masalah dalam pernikahan, bahkan rumah tangga yang bercerai-berai dan berantakan, ternyata penyebab utama di balik itu semua adalah tidak adanya faktor kafa'ah (kesepadanan) di antara kedua pasangan yang bersangkutan sejak semula. Berangkat dari realitas ini, ada sebagian ulama yang menganggap kafa'ah sebagai suatu syarat di antara persyaratan yang harus dipenuhi dalam suatu pernikahan. Mereka menganggap ketiadaan faktor kesepadanan membuka peluang bagi pihak yang tidak berkenan untuk membatalkan akad nikah.

Dalam madzhab Hanafi disebutkan, seandainya seorang wanita menikah dengan seorang lelaki yang tidak sekafa’ah dengannya tanpa melalui wali, diperbolehkan bagi pihak wali mengajukan gugatan terhadap wanita tersebut untuk membatalkan akad nikah yang telah dilakukan karena tidak ada syarat kafa’ah di antara keduanya, dengan syarat hendaknya wanita yang bersangkutan belum mengandung dari suaminya. Kafa'ah yang dimaksud bukan ​berarti kesamaan secara mutlak dalam hal pengetahuan, harta, kedudukan, kekuasaan, dan sebagainya. Akan tetapi, ada kalanya cukup hanya dengan adanya perimbangan dalam hal-hal tersebut dan tidak adanya perbedaan yang mencolok antara tingkatan suami dan tingkatan istri.

Perkara ini ada kalanya tidak dirasakan oleh kedua mempelai yang bersangkutan sebelum pernikahan, tetapi setelah pernikahan berlangsung, segala sesuatunya akan berubah. Ada kalanya pihak suami merasa menyesal karena memilih istri yang dinikahinya setelah ia menjumpai perbedaan yang mencolok antara dirinya dan teman hidup yang mendampinginya dan dia menjumpai kesulitan dalam berinteraksi dengannya.
Hal semacam ini bisa saja berakhir dengan perceraian atau tetap hidup bersama demi menjaga anak-anak dan keutuhan keluarga, tetapi jauh dari makna dan fungsi sebuah keluarga, selain mempertahankan keutuhan keluarga. Keduanya jauh dari kebahagiaan yang hakiki dalam hidup berumah tangga.

0 comments:

Post a Comment