Tuesday, August 9, 2016

Jasa Ulama’ dalam Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini lahir berkat jasa para ulama’ dan para kiai’, khususnya ulama dari Nahdlatul Ulama’ (NU). Karena itu sudah selayaknya tetap mempertahankan kesatuan NKRI agar perjuangan para ulama’ dan tokoh bangsa tidak sia-sia.

Kontribusi ulama’, khususnya para kyai NU ini dibuktikan dengan penunjukkan Soekarno-Hatta sebagai Waliyyul Amri ad-Dlaruri bisy-Syaukah di saat Indonesia hilang kewibawaan di mata dunia, serta dengan keluarnya Resolusi Jihad dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang membangkitkan semangat bertempur kepada Bung Tomo dan arek-arek Suroboyo dalam melawan penjajah pada 10 Nopember 1945 yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Sehingga kita heran mengapa segelintir orang yang tidak berkeringat, tidak berdarah-darah dalam perjuangan menegakkan NKRI tiba-tiba ingin mendirikan Negara Islam dengan dalih penegakan Khilafah Islamiyah. Untuk itu mari bersama-sama mendidik anak cucu kita sebagai generasi penerus untuk tetap kenal khidmat,cinta serta berbakti kepada para kyai dan ulama’.

Dalam perjuangan kemerdekaan, para ulama’ tidak dapat diabaikan. Setidaknya ada enam jasa utama yang telah diberikan para ulama untuk perjuangan kemerdekaan.

Pertama, menyadarkan rakyat akan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penjajah. Di berbagai pesantren, madrasah, ceramah, organisasi, dan pertemuan lainnya. Para ulama’ hendaknya menanamkan kesadaran di hati rakyat akan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penjajah tersebut.

Kedua, memimpin gerakan non kooperatif pada penjajah Belanda. Para ulama’ di masa penjajahan banyak mendirikan pesantren di daerah-daerah terpencil, untuk menjauhi bangsa penjajah yang banyak tinggal di kota.

Ketika Belanda, di masa revolusi, mempropagandakan pelayanan perjalanan haji dengan ongkos dan fasilitas yang dapat dijangkau oleh kaum Muslim di daerah jajahannya.  Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari menentang itu. Beliau mengeluarkan fatwa bahwa pergi haji dalam masa revolusi dengan menggunakan kapal Belanda hukumnya harom.

Ketiga, mengeluarkan fatwa wajibnya jihad melawan penjajah. Fatwa jihad ini sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan semangat perlawanan. Perang melawan penjajah dianggap jihad fi sabilillah, yakni perang suci atau perang sabil demi agama.

Ajaran perang suci ini munculdi Aceh paling awal abad ke-17, dibangkitkan oleh para guru agama pada masa krisis, yang terparah adalah tatkala pada akhir abad ke-19. Salah satu guru agama di tengah medan perang, Syaikh Abbas Ibnu Muchammad, mengatakan dalam Tadhkirat ar-Rakidin ajaran utama tahun 1889, bahwa Aceh merupakan Dar-al-Islam, kecuali daerah yang diperintah Belanda dan menjadi Dar-Al-Harb. Jihad merupakan kewajiban moral (fardhu ‘ain) orang Islam, termasuk wanita dan anak-anak, berperang untuk mengembalikan tanah yang dikuasai orang kafir kepada Dar-al-Islam.

Keempat, memobilisasi dan memimpin rakyat dalam perjuangan fisik melawan penjajah. Banyak ulama’ yang menjadi pemimpin perlawanan, seperti Pangeran Diponegoro, Raden Fatahillah, Imam Bonjol, Teuku Umar, Sultan Hasanudin, Teuku Cik Ditiro, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abbas Buntet, KH. Zainal Mustafa, dll.

KH. Hasyim Asy’ari sebagai pemimpin tertinggi Masyumi membentuk laskar-laskar rakyat untuk mendapat latihan ketentaraan dan memanggul senjata dengan metode baru. Mereka dilatih secara militer untuk merebut kemerdekaan. Maka terbentuklah Hizbullah untuk para pemuda dengan semboyan, “Ala Inna Hizbullahi hurn al-ghalibun.” ”Ingatlah, sesungguhnya golongan ALLOOHlah golongan yang menang.” dan laskar Sabilillah untuk umumnya para Kyai, lelaki, dan wanita dengan semboyan,”Wa man yujahid fi sabiliLLaah.” “Mereka yang berjuang di jalan ALLOOH.”

Kelima, menyerukan persatuan membela kemerdekaan RI yang diproklamasikan Soekarno-Hatta. Para ulama’ yang dipimpin KH. Hasyim Asy’ari memfatwakan kewajiban mempertahankan kemerdekaan RI. Dan pada tahun 1954, sebuah Musyawarah Alim Ulama’ Indonesia (NU) di Cipanas mengambil keputusan bahwa Presiden Soekarno adalah Waliuuul’Amri Dhoruri bisy-Syaukah, artinya pemegang pemerintahan yang punya cukup kewibawaan dipatuhi oleh pejabat dan rakyat. Keputusan hukum itu mampu menjawab kebingungan ummat Islam dengan gelar Imam Negara Islam Indonesia (NII) yang disandang SM Kartosuwiryo. Sehingga mayoritas ummat tetap mengakui kepemimpinan nasional Soekarno.

Keenam, berperan aktif dalam mengisi awal kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan para ulama’ ikut mempersiapkan kemerdekaan, termasuk di BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia). Dan pada awal kemerdekaan, banyak ulama’ yang aktif di pemerintahan atau parlemen. Dan juga tak terhitung para ulama’ yang berjuang lewat organisasi dan pendidikan.

Dengan jasa ulama’ yang sedemikian, ternyata masih relatif sedikit para ulama’ yang mendapat gelar pahlawan atau tertulis dalam sejarah kemerdekaan. Padahal tanpa jasa para ulama’ sebagai pemimpin agama dan masyarakat, mustahil perjuangan kemerdekaan akan dapat dibangkitkan dan didukung luas oleh rakyat.


Karenanya, sudah selayaknya perjuangan para ulama’ lebih dihargai dengan penulisan ulang sejarah dan penganugerahan bintang kepahlawanan. Baik ulama’ yang sudah terkenal, maupun yang belum terkenal, sama-sama berhak dihargai jasa kepahlawanannya bagi bangsa dan negara. Sebagaimana kata Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.”

0 comments:

Post a Comment