Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) ini lahir berkat jasa para ulama’ dan para kiai’,
khususnya ulama dari Nahdlatul Ulama’ (NU). Karena itu sudah selayaknya tetap
mempertahankan kesatuan NKRI agar perjuangan para ulama’ dan tokoh bangsa tidak
sia-sia.
Kontribusi ulama’,
khususnya para kyai NU ini dibuktikan dengan penunjukkan Soekarno-Hatta sebagai
Waliyyul Amri ad-Dlaruri bisy-Syaukah di saat Indonesia hilang
kewibawaan di mata dunia, serta dengan keluarnya Resolusi Jihad dari Hadratus
Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang membangkitkan semangat bertempur kepada Bung
Tomo dan arek-arek Suroboyo dalam melawan penjajah pada 10 Nopember 1945 yang
kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Sehingga kita
heran mengapa segelintir orang yang tidak berkeringat, tidak berdarah-darah
dalam perjuangan menegakkan NKRI tiba-tiba ingin mendirikan Negara Islam dengan
dalih penegakan Khilafah Islamiyah. Untuk itu mari bersama-sama mendidik
anak cucu kita sebagai generasi penerus untuk tetap kenal khidmat,cinta serta
berbakti kepada para kyai dan ulama’.
Dalam perjuangan
kemerdekaan, para ulama’ tidak dapat diabaikan. Setidaknya ada enam jasa utama
yang telah diberikan para ulama untuk perjuangan kemerdekaan.
Pertama,
menyadarkan rakyat akan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penjajah. Di berbagai
pesantren, madrasah, ceramah, organisasi, dan pertemuan lainnya. Para ulama’
hendaknya menanamkan kesadaran di hati rakyat akan ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan penjajah tersebut.
Kedua,
memimpin gerakan non kooperatif pada penjajah Belanda. Para ulama’ di masa
penjajahan banyak mendirikan pesantren di daerah-daerah terpencil, untuk
menjauhi bangsa penjajah yang banyak tinggal di kota.
Ketika Belanda,
di masa revolusi, mempropagandakan pelayanan perjalanan haji dengan ongkos dan
fasilitas yang dapat dijangkau oleh kaum Muslim di daerah jajahannya. Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari menentang
itu. Beliau mengeluarkan fatwa bahwa pergi haji dalam masa revolusi dengan
menggunakan kapal Belanda hukumnya harom.
Ketiga,
mengeluarkan fatwa wajibnya jihad melawan penjajah. Fatwa jihad ini sangat
besar pengaruhnya dalam membangkitkan semangat perlawanan. Perang melawan
penjajah dianggap jihad fi sabilillah, yakni perang suci atau perang sabil demi
agama.
Ajaran perang
suci ini munculdi Aceh paling awal abad ke-17, dibangkitkan oleh para guru
agama pada masa krisis, yang terparah adalah tatkala pada akhir abad ke-19. Salah
satu guru agama di tengah medan perang, Syaikh Abbas Ibnu Muchammad, mengatakan
dalam Tadhkirat ar-Rakidin ajaran utama tahun 1889, bahwa Aceh merupakan
Dar-al-Islam, kecuali daerah yang diperintah Belanda dan menjadi Dar-Al-Harb. Jihad
merupakan kewajiban moral (fardhu ‘ain) orang Islam, termasuk wanita dan
anak-anak, berperang untuk mengembalikan tanah yang dikuasai orang kafir kepada
Dar-al-Islam.
Keempat,
memobilisasi dan memimpin rakyat dalam perjuangan fisik melawan penjajah. Banyak
ulama’ yang menjadi pemimpin perlawanan, seperti Pangeran Diponegoro, Raden
Fatahillah, Imam Bonjol, Teuku Umar, Sultan Hasanudin, Teuku Cik Ditiro, KH.
Hasyim Asy’ari, KH. Abbas Buntet, KH. Zainal Mustafa, dll.
KH. Hasyim Asy’ari
sebagai pemimpin tertinggi Masyumi membentuk laskar-laskar rakyat untuk
mendapat latihan ketentaraan dan memanggul senjata dengan metode baru. Mereka dilatih
secara militer untuk merebut kemerdekaan. Maka terbentuklah Hizbullah untuk
para pemuda dengan semboyan, “Ala Inna Hizbullahi hurn al-ghalibun.” ”Ingatlah,
sesungguhnya golongan ALLOOHlah golongan yang menang.” dan laskar Sabilillah
untuk umumnya para Kyai, lelaki, dan wanita dengan semboyan,”Wa man yujahid
fi sabiliLLaah.” “Mereka yang berjuang di jalan ALLOOH.”
Kelima,
menyerukan persatuan membela kemerdekaan RI yang diproklamasikan
Soekarno-Hatta. Para ulama’ yang dipimpin KH. Hasyim Asy’ari memfatwakan
kewajiban mempertahankan kemerdekaan RI. Dan pada tahun 1954, sebuah Musyawarah
Alim Ulama’ Indonesia (NU) di Cipanas mengambil keputusan bahwa Presiden Soekarno
adalah Waliuuul’Amri Dhoruri bisy-Syaukah, artinya pemegang pemerintahan
yang punya cukup kewibawaan dipatuhi oleh pejabat dan rakyat. Keputusan hukum
itu mampu menjawab kebingungan ummat Islam dengan gelar Imam Negara Islam
Indonesia (NII) yang disandang SM Kartosuwiryo. Sehingga mayoritas ummat tetap
mengakui kepemimpinan nasional Soekarno.
Keenam, berperan
aktif dalam mengisi awal kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan para ulama’ ikut
mempersiapkan kemerdekaan, termasuk di BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha
Kemerdekaan Indonesia). Dan pada awal kemerdekaan, banyak ulama’ yang aktif di
pemerintahan atau parlemen. Dan juga tak terhitung para ulama’ yang berjuang
lewat organisasi dan pendidikan.
Dengan jasa
ulama’ yang sedemikian, ternyata masih relatif sedikit para ulama’ yang
mendapat gelar pahlawan atau tertulis dalam sejarah kemerdekaan. Padahal tanpa
jasa para ulama’ sebagai pemimpin agama dan masyarakat, mustahil perjuangan
kemerdekaan akan dapat dibangkitkan dan didukung luas oleh rakyat.
Karenanya,
sudah selayaknya perjuangan para ulama’ lebih dihargai dengan penulisan ulang
sejarah dan penganugerahan bintang kepahlawanan. Baik ulama’ yang sudah
terkenal, maupun yang belum terkenal, sama-sama berhak dihargai jasa
kepahlawanannya bagi bangsa dan negara. Sebagaimana kata Bung Karno, “Bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.”
0 comments:
Post a Comment