Tuesday, May 24, 2016

Istri Yang Bisu, Tuli, Buta, dan Lumpuh

Seorang lelaki yang sholeh bernama Tsabit bin Ibrohim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh keluar pagar kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah terbitlah air liur Tsabit, apalagi di cuaca yang panas dan tengah kehausan. Maka tanpa berpikir panjang dipungut dan dimakanlah buah apel yang lezat itu. Akan tetapi baru setengah dimakan buah apel itu, ia teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapatkan izin dari pemiliknya.

Maka ia segera pergi ke dalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah yang telah dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja ia berkata,”Aku sudah memakan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya.” Orang itu menjawab,”Aku bukan pemilik kebun ini. Aku pembantunya yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya.”

Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi,”Di mana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan  apel yang telah kumakan ini.” Pengurus kebun itu memberitahukan ,”Apabila engkau ingin pergi ke sana maka engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam.”

Tsabit bin Ibrohim bertekad akan pergi menemui pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu,”Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seizin pemiliknya. Bukankah RosuuluLLooh SAW sudah memperingatkan kita lewat sabdanya: “Setiap daging yang tumbuh dari yang charom, maka ia lebih layak menjadi santapan api neraka.”

Tsabit pun pergilah menuju rumah pemilik kebun itu, dan setiba di sana ia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan seraya berkata,”Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur memakan setengah dari buah apel tuan yang terjatuh ke luar kebun tuan. Karena itu, maukah tuan mengchalaalkan apa yang sudah kumakan itu?”

Lelaki tua yang ada di hadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata,”Tidak, aku tidak bisa mengchalaalkannya kecuali dengan satu syarat.” Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Segera ia bertanya,”Apakah syarat itu, tuan?” Orang tua itu menjawab,”Engkau harus menikahi putriku!”

Tsabit bin Ibrohim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata,”Apakah karena hanya aku makan setengah dari buah apel yang keluar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu?”

Pemilik kebun itu seakan tidak memperdulikan pertanyaan Tsabit. Ia justru melanjutkan perkataannya,”Sebelum pernikahan dimulai, engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu, ia juga seorang yang lumpuh! Jika engkau tidak mau menikahinya, maka aku tidak bisa mengchalaalkan apel yang telah kau makan!”

Tsabit kemudian menjawab dengan mantap,”Aku akan menikahinya.” Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Seusai pernikahan, Tsabit pun dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak memasuki kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat ALLOOH yang berkeliaran di dalam rumahnya tentu tidak tulis dan bisu juga. Maka ia pun mengucapkan salam,”Assalaamu’alaikum..”

Tidak disangka-sangka sama sekali, wanita yang di hadapannya dan resmi sebagai istrinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangan istrinya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu pun menyambut uluran tangannya.

Tsabit sempat terhenyak menyaksikan kenyataan itu. “Bukankah menurut ayahnya, dia adalah wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamku dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada di hadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula.” Kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berpikir, mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang keadaan yang sebenarnya?

Setelah Tsabit duduk di samping istrinya, ia pun bertanya,”Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa?” Wanita itu kemudian berkata,”Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang dicharomkan ALLOOH.”

Tsabit bertanya lagi,”Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?” Wanita itu menjawab,”Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridho ALLOOH.

Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan?” wanita itu balik bertanya kepada Tsabit yang kini telah sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan membenarkan pertanyaan istrinya. Wanita itu kemudian berkata,”Aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal, aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut Asma ALLOOH Ta’aala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kemarahan ALLOOH Ta’aala.”

Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat shoolichah. Dengan bangga ia juga berkata tentang istrinya,”Ketika kulihat wajahnya dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap.”

Tsabit dan istrinya yang shoolichah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia. Dia adalah Imam Abu Hanifah atau Nu’man bin Tsabit RA.


0 comments:

Post a Comment